Sabtu, 09 Mei 2009

PERKEMBANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MENUJU TERCIPTANYA SUPREMASI HUKUM


Abstract
Perkembangan politik pemerintah khususnya setelah reformasi tentang kekuasaan kehakiman mengalaminya sangat signifikan, sehingga mengundang pemerintah untuk melakukan perubahan atas Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman terutama setelah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dilakukan amandemen. Sejak itulah kekuasaan kehakiman yang mulanya memiliki dua induk semang, namun setelah dilakukan amandemen menjadi hanya memiliki satu induk semang yang dikehendaki

Summary
Development of judicial power as regulated in Law N.14 of 1970 after Reformation is marked by people’s demand for amandment to 1945 Constitution.The people’s demand,transpires,not only that,but also for the developmentof judicial institutions themselves.

1.Pendahuluan
Tuntutan rakyat untuk menegakkan supremasi hukum,desakan tersebut menjadi penting, karena kita ketahui bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 bertujuan mewujudkan tatanan kehidupan bangsa yang aman, tenteram,dan tertib. Untuk mewujudkan tatanan kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan dan menegakkan ketertiban, keadilan,dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dibawah Undang-Undang 1945 sebagai hukum dasar (ground wet).
Sejak Indonesia merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 diuji dengan beberapa kali kejadian, seperti pernah kedudukannya bergeser bukan lagi sebagai hukum dasar, dan dikesampingkan walaupun tidak ada pernyataan tidak berlaku.
Demikian seterusnya,semakin nyata usaha-usaha untuk menggantikan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga negara dan bangsa indonesia menjadi mengambang tanpa arah dan tujuan yang pasti. Namun demikian, dan wajar kita syukuri bahwa sebagian warga dari bangsa indonesia masih mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara serta berkeinginan untuk mempertahankan cita-cita bangsa sesuai Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencapai “ adil dan makmur “.
Atas dasar kejadian itu, sebagai pengalaman pahit bangsa, maka pernah masa pe-merintahan orde baru mengeluarkan “ statement kenegaraan”berupa ; “mempertahankan, melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”.
1.1 Latar Belakang
Yang menarik untuk diteliti adalah negara kita menyatakan dirinya sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,namun dalam pelaksanaannya kekuasaan kehakiman menurut pendapat masyarakat belum pernah terwujud adanya kekuasaan kehakiman yang bebas/merdeka dari pengaruh kekuasaan eksekutif.
2. Rumusan Permasalahan.
Namun yang menjadi masalah diera itu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,kekuasaan kehakiman masih jauh dari yang diharapkan. Kekuasaan kehakiman dicurigai masih belum mencerminkan sebagai kekuasaan yang merdeka. Karena para hakim pengadilan memiliki dua induk semang yaitu Menteri Kehakiman ( eksekutif ) dan Mahkamah Agung ( yudikatif ), dengan demikian hakim patut dicurigai tidak bertindak independen karena statusnya sebagai anggota KORPRI yang memiliki status keanggotaan Golkar sifatnya stelsel pasif.
Apakah dengan demikian tidak mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka ?
3. Metode Penelitian.
Tulisan ini merupakan suatu kajian kepustakaan ( library research )terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman.Pembahasan didapat melalui penelaahan terhadap literatur-literatur hukum dan membandingkan dengan kajian atas opini yang berkembang dalam masyarakat sebagai sebuah fakta yang tidak terbantahkan.
Hasil kajian dituangkan dalam penulisan melalui metode deskriptif analisis, yaitu menggambarkan hasil pembahasan kemudian dilakukan analisis untuk memperoleh kejelasan tentang masalah yang dikaji tersebut.
3.1 Landasan Teori
Sesuai dengan teori hukum yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa ( curia ius novit ; hakim dianggap mengetahui hukum ). Dalam melaksanakan tugas peradilan ,yaitu memeriksa dan memutuskan perkara, hakim adalah bebas ( onafhankelijk, independent ) artinya hakim tidak berada dibawah pengaruh atau tekanan atau tidak ada campur tangan dari pihak manapun, atau kekuasaan apapun juga ( abdulkarim M, SH 1982;47 ).Dalam negara hukum kebebasan hakim dalam melakukan peradilan merupakan ciri yang esensial. Negara hukum menjamin kebebasan hakim itu merupakan ciri suatu negara hukum yaitu;1) pengakuan dan perlindungan serta penghormatan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dsb, 2) peradilan bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh kekuasaan/kekuatan apapun, 3 ) legalitas dalam arti hukum dalam segala hal.
3.2 Hipotesa
Dari hasil kajian kepustakaan yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
Itu harus bebas/merdeka dari pengaruh kekuasaan dari manapun. Dengan demikian hakim dalam melaksanakan tugas peradilan dapat menciptakan suatu putusan yang adil.Sehingga dapat disimpulkan sebuah hipotesa ;semakin dijaminnya kebebasan hakim dalam melaksanakan peradilan,makin dijamin pula putusan hakim yang adil.
4. Pembahasan.
Dalam sejarah penulis menemukan sebuah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang betul-betul kelabu.( bertentangan dengan UUD 1945 ).Kebebasan hakim dalam negara hukum Indonesia pernah terganggu,hakim menjadi tidak bebas dalam melaksanakan peradilan. Terjadi pada masa pemerintahan rezim Presiden Soekarno sekitar tahun enam puluhan yaitu dengan menempatkan Mahkamah Agung sebagai organ yang berada dibawah Presiden. Ketua Mahkamah Agung diberi status Menteri.. Jadi Ketua Mahkamah Agung adalah pembantu Presiden, dengan demikian Ketua Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.( Abdulkadir M 1982;48 ). Ketua Mahkamah Agung dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab pada Presiden termasuk tugas peradilan.
Pengaruh itu jelas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 19 berbunyi ;demi kepentingan revolusi,kehormatan negara,dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak,Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.Demikian juga disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, pasal 23;dalam hal-hal Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan.( Abulkadir M,1982;49).
Kemudian pemerintahan berganti ke rezim Presiden Soeharto berusaha merubah dengan mengembalikan pelaksanaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.Merubah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan membentuk Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dengan prinsip akan melaksanakan kekuasaan kehakiman sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 ( pasal 24 dan 25 ).Namun dalam perjalanannya kekuasaan kehakiman masih dibawah Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung.Kekuasaan kehakiman dibuat mengambang karena menempatkanya dibawah kekuasaan eksekutif dan menempatkan hakim sebagai anggota KORPRI dimana dewan pembinanya adalah Presiden.
Teori “ Trias politika “ dari Montesqieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi atas ; kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dimana antara kekuasaan yang satu dengan yang lain adalah betul-betul terpisah ( separation of power ) tanpa ada peluang saling mencampuri.
Sedangkan kita menyadari bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut pemisahan kekuasaan seperti teori Montesqieu tersebut, akan tetapi pelaksanaan dalam negara kita dikenal menganut prinsip pembagian
kekuasaan dalam arti formal ( distribution of power ) yang memberi peluang kerja sama sebagai hubungan kerja antara kekuasaan yang satu dengan yang lain, dikenal sebagai teori “ chek and balances “.
Kerja sama tersebut dapat dikemukakan dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Presiden memberi grasi,amnesti,abolisi dan rehabilitasi sebagai pelaksanaannya disebutkan dalam pasal 11 ayat 3 Tap MPR No. III/MPR/1978, disebutkan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/ Kepala Negara untuk memberikan/menolak grasi. Sehingga sementara ada yang berpendapat bahwa hak Presiden memberi grasi termasuk lingkup kekuasaan eksekutif bukan yudikatif.
Kekuasaan yudikatif yang dimaksud dalam konstitusi negara sebagaimana dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1970 disebutkan kekuasaan yudikatif terdiri dari kekuasaan-kekuasaan :
Mahkamah Agung, sebagai badan peradilan negara tertinggi; Badan –badan Kehakiman lainnya dalam undang-undang antara lain :
A.Peradilan Umum, yang terdiri dari;
I Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama;
II Pengadilan Tinggi, sebagai peradilan tingkat banding;
III Mahkamah Agung, sebagai peradilan Kasasi.
B.Peradilan Khusus, yang dalam implementasinya berkembang sesuai kebutuhannya.
i Peradilan Tata Usaha Negara
ii Peradilan Agama
iii Peradilan Militer
Setelah terjadi berbagai desakan yang memuncak pada tragedi, 27 Mei 1997 yang berakhir dengan ditetapkan sebuah statement tentang tuntutan reformasi. Salah satu
tuntutan yang mendesak adalah tuntutan Supremasi Hukum yang menuntut agar kekuasaan kehakiman betul-betul merupakan kekuasaan yang merdeka.
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Bab IX,pasal 24 dan pasal 25, yang menyatakan sebagai berikut;
Pasal 24
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Di era reformasi dimana tuntutan untuk melakukan supremasi hukum menjadi tekad pemerintah bukan lagi sekedar wacana. Pemerintah segera mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan menempatkan kekuasaan kehakiman ( kekuasaan peradilan ) dibawah Mahkamah Agung. Pemerintah segera membentuk Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan merubah Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dengan Undang-undang 4 Tahun 2005 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.Disamping itu pemerintah melakukan amandemen UUD 1945 dengan menambah pasal 24 B untuk memberi jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tersebut.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mempunyai pengertian adalah ; “sebuah kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Berhubung dengan itu, harus diada-kan jaminan dalam undang-undang untuk membuat perangkat mendukung terciptanya sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu supaya dibentuk Komisi Yudisial ditentukan dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945 ( amandemen ) berbunyi ;
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas,dan kepribadian yang tidak tercela;
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah reformasi bukan sekedar wacana atau lipstik saja, tapi sudah mendekati apa yang diharapkan.Hal ini ditandai dengan proses pengangkatan hakim agung ditangani oleh sebuah lembaga yang betul-betul independen yaitu Komisi Yudisial. Seleksi pengangkatan hakim agung dilakukan sangat ketat, karena dilakukan seleksi melalui beberapa tahap yaitu seleksi oleh Komisi Yudisial, kemudian dilakukan propertes oleh Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Negara.
Disamping Komisi Yudisial mempunyai kewenangan pengangkatan juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan pada para hakim baik yang bertugas dilingkungan peradilan umum maupun peradilan khusus ataupun dilingkungan peradilan tingkat banding.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam implementasinya sudah terlihat, misalnya beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi telah diungkap baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun oleh lembaga peradilan umum telah diselesaikan dan telah dijebloskan dalam tahanan.
Praktek penegakkan hukum, peran hakim memegang kunci yang penting.Memang kalau kita lihat,mekanisme beracara baik pidana maupun perdata semua bermuara pada pengadilan dalam hal ini hakim.Namun penulis berpendapat penegak hukum tidak satu-satunya faktor dipundak hakim,namun lingkungan juga ikut mempengaruhi.
Sebab bila lingkungan tidak peduli berarti memberi kesempatan pada para penegak hukum ( hakim,jaksa, polisi maupun penyidik KPK ) melanggar ketentuan hukum.Penegakkan hukum di Indonesia setelah reformasi sudah mulai terasa memenuhi harapan sebab semua pihak sangat konsen. Presiden sangat menyadari sepenuhnya program penegakkan hukum ( rule of low ) harus dikedepankan, karena telah merusak semua sendi kehidupan.
Hal ini bisa dilihat berbagai kebijakan pemerintah dalam penegakkan hukum;
(1) Presiden dalam setiap kesempatan dalam menanggapi kejadian, misal kebakaran beberapa pasar Presiden menginstruksikan pada polri untuk mengusut tuntas sebab-sebab kebakaran apa ada unsur sabotase atau kesengajaan
(2) Presiden mengeluarkan instruksi Presiden; Inpres nomor 5 tahun 2001 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang isinya sebuah perintah pada semua aparat untuk mengusut dilingkungannya bila dicurigai telah terjadi tindak pidana korupsi supaya cepat ditindak dan diselesaikan secara tuntas,
(3) Meratifikasi konvensi PBB United Nation Convention Agent Coruption 2003 melalui Undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB tentang Anti Korupsi 2003.
(4) Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2002.
(5) Menetapkan Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban agar saksi pelapor dapat dilindungi hukum,
(6 ) Kedudukan Hakim yang tadinya memiliki dua induk semang ( Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung ), sekarang dirubah , hakim memiliki satu induk yaitu Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai tanggungjawab melakukan pembinaan pada para hakim di peradilan baik peradilan tingkat pertama ataupun peradilan tingkat banding ditetapkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang perubahanUndang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Peran masyarakat melalui organisasi masyarakat yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat cukup aktif, sehingga peran masyarakat sebagai alat kontrol sangat dominan( social control ). Disamping hal tersebut ditandai dengan peran eksekutif yang mengecil,menutup kemungkinan untuk dapat mencampuri atau mempengaruhi kekuasaan yudikatif. Kenyataan ini dibuktikan dengan telah diungkapnya tindak pidana korupsi se-
kalipun di instansi yang dahulunya sangat bergengsi ( Bulog, Gubernur,Bupati/ Wali kota maupun Menteri ) pimpinannya yang terlibat baik sebagai pelaku atau penyerta diperiksa dan dijebloskan dalam penjara.Problem penegakkan hukum, memang tergantung pada individu pejabat penegak hukum. Namun lingkungan penegak hukumpun tidak terbebas dari program penegakkan hukum.
Hal ini telah dibuktikan, dengan telah ditindaknya para hakim, jaksa polisi, bahkan pada penyidik KPK yang nakal melakukan pemerasan telah ditindak dan dijebloskan ke tahanan. Seperti dikatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut ; the low , in its prosedural as well substantive aspect, is essentially made and administered by person whose views and “ interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a” truism that the quality of justice depends more on the quality of the ( person ) who administer the law on the content of law they administer “. Bahwa problem klasik penegakkan hukum ada pada kualitas ( mental ) manusia yang menjalankan hukum bukan pada aturan hukumnya.
Dari uraian-uraian diatas, kita dapat menarik kesimpulan yaitu mulai dari proses pengangkatan hakim sangat selektif sudah dapat dilihat dan dirasakan hasilnya.Dibuktikan dengan gugurnya guru besar Universitas Hasanudin yang pernah jadi tersangkaDari uraian diatas para pejabat yang ditugasi menyeleksi para calon hakim agung sudah bisa memegang komitmen , para hakim yang dinyatakan lulus seleksi harus yang tidak pernah tercela dan dapat mempertahankan martabat dan harkat manusia.

Daftar Pustaka
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Dr Adnan Buyung Nasution, Praktek Penindakan Tindak Pidana Korupsi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar