Sabtu, 02 Januari 2010

PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan bahwa Komisi Ombudsman sudah dikenal masyarakat terbukti banyaknya pengaduan. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan public baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan public tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah.
Komisi Ombudsman yang selama ini kita kenal dengan nama Komisi Ombudsman Nasional awal pemebntukannya didasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Dasar hukum Komisi Ombudsman Nasioanl saat ini telah diperkuat dengan disyahkannya UU. No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Pada tanggal 9 Oktober 2008 UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia telah menggantikan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang lebih dari delapan tahun menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional dalam menjalankan tugasnya. Setelah berlakunya UU ini maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanent yang sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lainnya. Pengaturan Ombudsman dalam UU tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di dearah-daerah. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki power, rekomendasi bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi Ombudsman dalam menangani laporan. Saat ini seluruh Ombudsman, assisten Ombudsman dan seluruh staf sedang berusaha keras agar masa transisi menuju Ombudsman Republik Indonesia dapat berjalan dengan lancar baik dari sisi kelembagaan, sistem penanganan laporan dan strategi pengembangan, karena tujuan dari semua itu bukan hanya untuk kepentingan Ombudsman namun agar pelayanan publik dapat berjalan lebih baik, mengingat kehadiran Ombudsman harus dirasakan manfaatnya secara langsung atau tidak langsung oleh masyarakat luas.
Berikut ini adalah skema perjalanan dasar pembentukan Ombudsman dari Keppres menjadi Undang-Undang:

§ Pembahasan RUU Ombudsman RI dimulai oleh Panja terdiri dari Komisi III DPR RI dan Tim Pemerintah
§ Presidan mengeluarkan Amanat Presiden dan menunjuk MenteriHukum dan HAM sebagai Wakil Pemerintah
§ Dikeluarkannya TAP MPR RI No.VIII/MPR-RI/2001 salah satu isinya mengamankan dundangkannya Ombudsman
§ Badan Legislasi DPR RI mengambil alih RUU Ombudsman RI sebagai Usul Inisiatif DPR RI
§ Masa Kerja DPR RI periode 2000-2004 berakhir. Belum ada tindaklanjut dari pihak pemerintah terkait RUU Ombudsman RI Pembahasan RUU Ombudsman RI dimulai lagi dari awal
§ Rencana Pembentukan Ombudsman oleh Presiden Abdurrahman Wahid
§ Draft Konsep RUU Ombudsman RI selesai disusun oleh Komisi Ombudsman Nasional
§ RUU Ombudsman RI kembali menjadi Usul Inisiatif DPR RI periode 2004-2009
§ Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden RI No.44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional
§ Dikeluarkannya Keputusan Presiden No.155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Keputusan Lembaga Ombudsman
2005
2006
2005
2004
2001
1999
§ Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan konsep RUU Ombudsman Nasional
§ RUU Ombudsman RI disetujui oleh seluruh Fraksi dari Komisi III DPR RI
§ UU Ombudsman RI disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 9 September 2008
§ Terbentuknya Ombudsman Republik Indonesia















Gambar 1. Perjalanan UU tentang Ombudsman
Sumber : Ombudsman RI, dimuat di Suara Ombudsman Nomor 3 Tahun 2008,
halaman 9.



Keberadaan Ombudsman yang sudah dilandasi oleh UU ini secara nyata memperoleh pengakuan (recognition) baik dari institusi terkait maupun dari masyarakat. Institusi terkait memberikan pengakuan keberadaan Ombudsman melalui langkah tindak lanjut serta korespondensi dengan ombudsman, sedangkan masyarakat memberikan pengakuan melalui laporan-laporan yang mereka sampaikan di mana beberapa di antaranya mereka merasa memperoleh manfaat/keberhasilan sehingga mereka kemudian menyampaikan apresiasi kepada Ombudsman.
Pengakuan (recognition) atas eksistensi Ombudsman di Indonesia juga diterima dari dunia Internasional, khususnya dari International Ombudsman Institute (IOI), Asian Ombudsman Assosiation (AOA) dan dari United State Ombudsman Assosiation (USOA). Dalam setiap kegiatan konferensi yang diselenggarakan oleh ketiga perhimpunan Ombudsman tersebut, Ombudsman RI selalu diundang sebagai peserta.
Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 UU No.37 tahun2008 Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organic dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Sedangkan pasal 4 UU No. 37 tahun 2008 Ombudsman bertujuan:
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil,dan sejahtera;
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Sejak berdiri, Komisi Ombudsman mendapat dana dari APBN melalui kantor sekretariat negara dan juga bantuan dari The Asia Foundation (TAF). Saat ini Komisi Ombudsman telah memperoleh pula bantuan dana dari Partnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership), sebuah badan pemberi dana yang bekerja sama dengan United Nations for Development Program (UNDP) dalam rangka membantu instansi-instansi public di Indonesia melaksanakan asas-asas pemerintahan yang baik. Di samping itu perlu disebut, beberapa bantuan dari badan pemberi dana lain; seperti Netherlands Organization for International Cooperation in Higher Education (Nuffic, Belanda) dan Legal Reform Program (LRP, Australia), dengan catatan, bahwa pencarian dan pengelolaan dananya dilakukan langsung oleh institusi bersangkutan.
Seperti instansi public lain, Komisi Ombudsman membuat perencanaan kegiatan untuk selama lima tahun. Di samping itu dibuat pula perencanaan tahunan untuk kegiatan-kegiatan dan proyek-proyak yang akan dilaksanakan selama tahun berikutnya. Perencanaan tahunan ini selalu dijadikan dasar untuk melakukan evaluasi pencapaian kegiatan-kegiatan atau keberhasilan proyek-proyek Komisi Ombudsman di akhir tahun kerja.
Komisi Ombudsman, sesuai dengan Kepres Nomor 44 tahun 2000 memiliki wewenang untuk melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan menurut pasal 6 UU No.37 tahun 2008 Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan public yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan public tertentu.
Menurut pasal 7 UU No. 37 tahun 2008 Komisi Ombudsman bertugas:
a. Menerima Laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public;
b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public;
e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Ombudsman berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar gati rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Pengawasan eksternal yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat atau LSM maupun mahasiswa dalam pemberantasan korupsi sering tidak focus. Hal ini menyebabkan mereka sering tidak ditanggapi oleh penyelenggara negara. Selain itu,masih terdapat jarak yang cukup jauh, khususnya antara LSM sebagai salah satu organisasi nonpemerintah dan aparat penyelenggara negara, karena perbedaan landasan keberadaan masing-masing. Bila LSM dibangun atas keinginan masyarakat, maka lemabaga negara keberadaannya dilandasi dengan undang-undang. Perbedaan tersebut mengakibatkan timbulnya resistensi dari aparat penyelenggara negara pada saat mereka “diawasi” oleh lembaga nonpemerintah. Resistensi itu makin kuat manakala aparatur negara/pemerintah menghadapi permasalahan kongkret dengan menggunakan perantara yang bersifat formal, procedural, dan hierarki structural.
Penguatan terhadap Komisi Ombudsman dalam pengawasan pelaksanaan pemberantasan korupsi, kemudian menjadi sangat penting. Pada saat warga negara melihat ada sesuatu yang salah, ketidak puasan bermunculan, keluhan terhadap birokrasi tak ditanggapi, sistem penegakan hukum sangat lamban, mahal, dan jauh dari kemudahan, saat itulah Ombudsman banyak dilirik orang. Secara umum tugas dan fungsi Komisi Ombudsman adalah melakukan pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara. Di Indonesia,tugas tersebut diperluas meliputi penyelidikan dan pengawasan pada sistem administrasi negara guna memastikan agar sistem itu membatasi korupsi sampai pada tingkat yang minim.
Sebagai tolok ukur penegakan hukum di Indonesia lembaga peradilan merupakan tempat terakhir penyelesaian sengketa masyarakat. Sekecil apapun penyimpangan yang dilakukan oleh aparat peradilan akan berakibat kepada rasa ketidakadilan masyarakat. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa dalam sengketa perkara di Peradilan ada pihak yang menang dan kalah, sehingga diperlukan ketelitian yang sungguh-sungguh dalam menangani laporan masyarakat menyangkut peradilan.
Dalam hubungan ini, pernah Komisi menerima laporan dari dua belah pihak yang berperkara di Pengadilan, namun Komisi memegang teguh asas ketidak berpihakan atau “impartiality principle” laporan tersebut dapat ditangani dengan baik.Adapun permasalahan yang sering berulang disampaikan oleh pelapor adalah masalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi tidak dapat dieksekusi. Dalam praktek sering ditemukan bahwa sampai bertahun-tahun eksekusi putusan tidak dapat dilaksanakan. Padahal menurut ketentuan perundang-undangan, putusan semacam itu harus dieksekusi sekalipun ada perlawanan atau bantahan dari Termohon Eksekusi. Hal ini merupakan dorongan bagi Komisi untuk membuat rekomendasi yang cermat dan tepat untuk masalah tersebut sehingga kepastian hukum dapat dirasakan.
Asas yang dianut Ombudsman RI adalah kebenaran, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, dan transparasi. Adapun sifat Ombudsman Republik Indonesia adalah mandiri, bebas dari campur tangan pihak lain, sedangkan tujuan Ombudsman Republik Indonesia antara lain adalah mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih serta meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang.
Dibawah ini peneliti tunjukan beberapa data laporan masyarakat tentang kelemahan pelayanan yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintah dari urutan rengking/klasifikasi dari banyaknya yang dilaporkan masyarakat.







Gambar 2. Diagram Penerimaan Laporan Masyarakat Berdasarkan Substansi
Sumber : Ombudsman RI, dimuat di Suara Ombudsman Nomor 3 Tahun 2008,
halaman 7.

Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa substansi maladministrasi yang terbanyak dilaporkan adalah Penundaan Berlarut (Undue Delay), yaitu sebanyak 164 laporan atau 33,20%. Jumlah tersebut berbeda secara signifikan dengan substansi kedua terbanyak yang dilaporkan masyarakat yaitu bertindak sewenang-wenang sebanyak 68 laporan atu 13,77%.
Disusul kemudian oleh substansi tidak menangani sebanyak 54 laporan atau 10,93%, penyimpangan prosedur 43 laporan atau 8,70%, bertindak tidak adil 38 laporan atau 6,07%. Substansi tidak menangani hanya berjumlah 36 laporan pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 48 laporan. Substansi permintaan imbalan uang/korupsi pada tahun 2007 berjumlah 25 laporan, pada tahun 2008 meningkat menjadi 33 laporan. Fenomena ini memperlihatkan bertambah buruknya kualitas pemberian pelayanan public oleh instansi pemerintah hingga mewujudkan pada tindakan ekstrim yaitu meminta imbalan uang bahkan tidak melakukan pelayanan kepada masyarakat.
INSTANSI PEMERINTAH
JUMLAH
%
Kepolisian
160
28,93%
Pemerintah Daerah
138
24,95%
Lembaga Peradilan
72
13,02%
Kejaksaan
40
7,23%
Instansi Pemerintah (Kementerian & Departemen
33
5,97%
Badan Pertanahan Nasional
32
5,79%
BUMN/BUMD
28
5,06%
Lembaga Pemerintah Non Departemen
14
2,53%
Perguruan Tinggi Negeri
7
1,27%
DPR
5
0,90%
Perbankan
4
0,72%
Komisi Negara
3
0,54%
Badan Pemeriksa Keuangan
2
0,36%
Lain-lain
1
0,18%
14
2,53%
TOTAL
553
100,00%

















Sumber : Ombudsman RI, dimuat di Suara Ombudsman Nomor 3 Tahun 2008,
halaman 6.
Gambar 3. Tabel Data Penanganan Keluhan Masyarakat Berdasarkan Klasifikasi Instansi Yang Dilaporkan


Sementara itu dari tabel di atas dapat diketahui bahwa instansi yang terbanyak dilaporkan masyarakat hingga periode triwulan III tahun 2008 adalah Kepolisian, yaitu sejumlah 160 laporan (28,93%). Disusul oleh instansi Pemerintahan Daerah sebanyak 138 laporan (24,95%), dan lembaga-lembaga Negara yang lain.
Dari data pengaduan masyarakat atas kinerja instansi pemerintahan tersebut sebagaimana disebutkan, namun peneliti masih menemui kejanggalan tentang dari sekian banyak permasalahan apakah semua dapat diselesaikan Ombudsman dan bentuknya penyelesaiannya berupa apa? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang memperkuat pendapat peneliti bahwa pelayanannya kurang memuaskan. Hal ini tentunya diperkuat dengan pendapat Prof. Philipus Hadjon, SH pada bahan kuliah magister hukum Universitas Airlangga menyebutkan bahwa “misi Ombudsman adalah untuk membangkitkan keluhan-keluhan terhadap administrasi pemerintah, untuk menggunakan kekuasaannya yang luas dalam penyelidikan untuk melaksanakan pemeriksaan administrasi pasca keputusan, untuk membuat pertimbangan yang mengkritik atau membela administrator, dan untuk melaporkan secara umum penemuan-penemuannya dan rekomendasinya tetapi tidak untuk merubah keputusan administrasi. Dari uraian tersebut terus terang temuan-temuan peneliti dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan Ombudsman hanya merupakan tindakan yang hanya memberikan saran agar instansi terlapor dapat memperbaiki dan jangan mengulangi kecerobohan tersebut. Tapi missal terdapat laporan masyarakat yang menghendaki adanya pembatalan keputusan tidak mungkin dilakukan Ombudsman.
Adapun tentang indenpendensi Ombudsman, menurut Antonius Sujata dan RM. Surachman membuat klasifikasi dalam tiga jenis (Sujata & Surachman : 2002; 57-58) Pertama; Indenpendensi Ombudsman yang sifatnya institusional, artinya Ombudsman sama sekali bukan bagian dari instituisi negara yang telah ada. Oleh karena itu ia sama sekali tidak diawasi oleh kekuasaan negara, dan harus memperoleh kedudukan yang tinggi. Kedua; Indenpendensi Ombudsman yang bersifat fungsional, maksudnya: Ombudsman tidak boleh dicampuri (atau diperintah) dan ditekan oleh siapapun. Untuk mencegah jangan sampai ada tekanan yang sifatnya intimidatif, Parlemen harus memberikan wewenang yang kuat pada Ombudsman baik secara politis maupun yuridis, dan juga didukung anggaran yang memadai. Ketiga; Indenpendensi Ombudsman yang sifatnya personal, artinya seorang Omudsman haruslah pribadi-pribadi yang memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas yang memadai sehingga dapat dipercaya masyarakat. Oleh karena itu untuk menjadi seorang Ombudsman harus melalui tahapan seleksi sangat ketat yang dilakukan oleh Tim seleksi yang independensi Parlemen. Ombudsman yang dilakukan independensi personal akan mampu menjalankan tugasnya secara adil dan tidak berpihak.
Bilamana hal tersebut diwujudkan peneliti dapat menyimpulkan Ombudsman dapat mampu mewujudkan sistem demokrasi yang modern dan berkeadilan. Hal ini dimasa mendatang peran Ombudsman sangat penting untuk mewujudkan terlaksananya sistem pemerintahan yang goodgovernance. Oleh karena Indonesia meskipun menganut sistem presidensial, parlementary Ombudsman tetap memiliki peluang untuk berkembang dan menjadi efektif karena didukung peran singifikan dari Parlemen dalam melakukan “check and balance” terhadap eksekutif, apalagi praktek quasi parlementer selama ini masih di jalankan.
Dengan demikian harapannya Ombudsman dapat memiliki daya paksa dalam melakukan tindaklanjut atas laporan/informasi atas pengaduan masyarakat (pasal 7 UU No. 37/2008) termasuk surat tanpa nama. Hal ini disebabkan di Indonesia jaminan perlindungan pelapor masih kelabu walaupun sudah ada dasar hukumnya (UU No. 13 Th. 2006 tentang perlindungan saksi dan pelapor). Sehingga Ombudsman seyogyanya dapat memperhatikan hal tersebut, walaupun tidak melampirkan bukti, karena untuk memperoleh bukti sangat sedikit tapi bila menjelaskan nama-nama pejabat yang dapat di hubungi untuk dilakukan klarifikasi. Terima kasih harapan rakyat bila Ombudsman dapat lebih tegas, sehingga dapat memuaskan rakyat.
Berdasar uraian diatas peneliti berpendapat bahwa bila pemerintah menunjuk Ombudsman sebagai satu-satunya institusi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja departemen,lembaga pemerintah nondepartemen,karena berlandaskan pada hal-hal sebagai berikut : pertama Ombudsman berkedudukan sebagai lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden,kedua indepedensi cukup terjaga karena kedudukannya tidak mungkin mendapat tekanan dari pihak manapun termasuk institusi pemerintah lainnya,ketiga pemilihan para ombudsman sangat selektif melalui pertimbangan dari segi kredibilitas,integritas dan kompetensi.Sehingga tinggal tergantung pemerintah menunjukkan dukungan dan good wil serta antosias pemerintah untuk selalu memberi kepercayaan, dengan demikian bila pemerintah menghadapi permasalahan tidak perlu membentuk organ-organ lain yang bersifat ad hoc ( seperti sat gas dan tim ).Hal ini disebabkan dukungan pemerintah sudah cukup memberi fasilitas pada ombudsman baik berupa Peraturan perundangan ( UU No. 37 Tahun 2008),kantor dan seperangkat lainnya seperti anggaran,aparatur ( para ombudsman dan asisten ) jadi tinggal sikap pemerintah berupa kepercayaan yang secara terus-menerus seperti terhadap KPK bahkan dapat menjadi parner.Peneliti yakin dapat memacu kinerja institusi semakin meningkat dan kepercayaan rakyat akan segera pulih terhadap pemerintah khususnya para penegak hukum serta dapat segera mewujudkan ombudsman sebagai Magistrature of influence ( Mahkamah Pemberi Pengaruh ).
Harapan Ombudsman sebagai lembaga pengawas independen sangat besar,karena lembaga yang ada pada tiap-tiap institusi telah terbukti lemah yaitu cenderung membela pelaku yang merasa senasib, contoh lolosnya proses mutasi mantan pejabat suami istri dengan persyaratan dan usia yang sebetulnya masuk kategori melanggar peraturan perundang-undangan.Hal ini bisa masuk kewenangan ombudsman,karena masuk kategori perbuatan mal administrasi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 37 tahun 2008 dan harus tegas serta dapat memaksa pada institusi terkait untuk member informasi.Peneliti yakin bila lembaga-lembaga yang memiliki fungsi pengawasan dapat menjalankan tugasnya secara konsisten seperti Komisi Yudisial yang berani menindak para hakim nakal. Ini mungkin perlu dukungan semua pihak termasuk media yang dapat menayangkan pada public untuk memperkenalkan pada public tentang peran ombudsman yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Dengan demikian para ombudsman harus peka pada fenomena di masyarakat yaitu berkembangnya kebiasaan menuangkan ketidakpuasan atas pelayanan dan ketidakadilan melalui jejaring sosial ( facebook ) dapat diminimalisir,sehingga betul-betul terjadi democrasi must be delivery untuk rakyat dan terwujud ombudsman sebagai Magistrature of influency bagi rakyat sekaligus akan mendukung terwujudnya Negara demokrasi yang modern dan terhormat.
Keberadaan Ombudsman di Indonesia tidak terlepas dari saran dan kritik yang disampaikan oleh masyarakat agar di masa yang akan datang kinerja Ombudsman di Indonesia lebih efektif dalam menjalankan fungsinya. Harapan tersebut menyangkut beberapa hal berikut ini:
a. Pengembangan Institusi
Sebagian masyarakat dan stakeholder mengharapkan pengembangan institusi Ombudsman demi menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Pengembangan dimaksud meliputi perencanaan sumberdaya manusia, dan fasilitas penunjang yang memadai, sehingga laporan masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan segera.
b. Pengembangan fungsi dan kewenangan
Sementara itu beberapa Pejabat Publik yang pernah dilaporkan kepada Ombudsman mengharapkan kecermatan (accuracy) data yang digunakan sebagai bahan untuk menyusun rekomendasi. Oleh karena itu, Komisi Ombudsman harus mengoptimalkan kegiatan investigasi terutama investigasi di lapangan (in situ investigation). Kendala lain di saat ini, Komisi Ombudsman tidak berwenang melakukan upaya paksa untuk menghindarkan pihak-pihak yang dilaporkan guna memberi keterangan di hadapan Ombudsman agar duduk persoalan yang dilaporkan/dikeluhkan menjadi lebih jelas.
c. Sumber Daya Manusia
Komisi Ombudsman harus mengembangkan Sumber Daya Manusia baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah Asisten dan staf secretariat pada saat ini masih jauh dari memadai. Penambahan staf akan mempercepat tindak lanjut laporan. Sementara itu para staf juga masih perlu dibekali dengan pengetahuan taknis baik teknis yuridis maupun teknis manajemen kesekretariatan. Di samping itu, komisi Ombudsman perlu menyusun perencanaan Sumber Daya Manusia sehubungan dengan sistem kepegawaian, kesejahteraan sehingga ada kepastian bagi staf yang bekerja pada Kantor Ombudsman. Selanjutnya, pengiriman staf pada berbagai pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tugasnya perlu ditingkatkan guna menambah wawasan dan kapasitas intelektualnya.





IV. PENUTUP
Setiap proses penyelesaian permasalahan seharusnya dilandasi oleh pengakuan kesetaraan antara pelapor dengan terlapor, sebab pada hakekatnya terdapat kesamaan derajat atau asas kesejajaran (equality principle) antara institusi yang berkewajiban memberi pelayanan dengan anggota masyarakat yang berhak melaporkan pelayanan.
Efektifitas Ombudsman sangat ditentukan oleh pelapor dan juga intitusi yang dilaporkan. Tanpa adanya dorongan pelapor melalui laporan yang kompeten, konkrit, jelas disertai data pendukung serta niat baik institusi terlapor (untuk menindaklanjuti laporan) tentu tidak akan menghasilkan apapun.
Sementara itu Ombudsman harus bekerja lebih keras agar masyarakat semakin merasakan manfaat Ombudsman sebagai salah satu tempat untuk dapat menyelesaikan permasalahan pemberian pelayanan, penyimpangan serta ketidakadilan yang dilakukan oleh aparatur Negara.
Tiga pilar dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik yaitu masyarakat, pelaksanaan penyelenggaraan negara dan Ombudsman, kiranya di masa depan dapat saling bekerjasama dengan sebaik-baiknya. Keberhsilan Ombudsman selain ditentukan oleh kinerjanya sendiri juga lebih banyak ditentukan oleh tekad dan kemauan para penyelenggara negara, aparat pemerintah serta peradilan untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. Tanpa langkah konkrit untuk perbaikan maka upaya memperbaiki diri serta mencegah dilakukannya penyimpangan.
Rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat lebih merupakan sebagai control moral. Karena itu rekomendasi yang tidak mengikat tersebut semestinya bukan menjadi kelemahan bagi Ombudsman. Tetapi justru menjadi kekuatan Ombudsman. Apabila melalui suatu pertimbangan, saran atau rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat, namun diakui serta ditindaklanjuti berarti terdapat nilai-nilai kewibawaan ataupun penghormatan setidak-tidaknya pengaruh terhadap institusi terkait. Sehingga memang mengandung kebenaran bahwa Ombudsman bukanlah “Mahkamah Pemberi Sanksi” (Magistrature of Sanction) melainkan “Mahkamah Pemberi Pengaruh” (Magistrature of Influence).
Kerjasama dengan instansi Pemerintah/Peradilan, Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh-tokoh Masyarakat, Perseorangan dan lain-lain demi lebih memperkenalkan sekaligus memperkuat eksistensi Ombudsman merupakan kegiatan yang amat penting untuk terus dilaksanakan. Ombudsman merupakan kegiatan yang amat penting untuk terus dilaksanakan. Ombudsman sangat mengharapkan agar pada masa mendatang setiap lembaga Pemerintahan/Peradilan dapat memiliki/menyusun sendiri standar minimum pemberian pelayanan, sehingga masing-masing institusi setidaknya memiliki pedoman yang konkrit dalam memberi pelayanan sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat.