Sabtu, 09 Mei 2009

LAHIRNYA KORUPSI DAN SOLUSI PEMBERANTASANNYA

Abstraksi
Korupsi yang tumbuh bagai jamur dimusim hujan dan diperkirakan tidak akan hilang atau berkurang menguras perhatian banyak pihak untuk memikirkan kiat atau solusi obat yang paling mujarab dan ada yang memikirkan bagaimana kalau memberikan sanksi yang berat yang memberikan efek jera bagi pelaku KPK kebanjiran ide-ide, bahkan ICW mengirimkan motif baju ( seragam ). Penulis berpendapat lebih baik memikirkan melakukan pembinaan atau pengembangan pada para penegak hukum bagaimana mendayagunakan para penegak hukum termasuk didalamnya polisi supaya ditingkatkan profesionalisme untuk mencegah korupsi yang lebih besar lagi yang merusak tatanan kehidupan.

Summary

Succesful policework must be swift, efficient and effective this means adequate personel, equipment and support resources, productive but fair investigative and arres procedurand above all, strong back up from prosecutors and courst in bringing arrested person promptly to trial. The most abvious un met need in the low enforcement establishment is intelligent planning and strategy on how to make the most effective use of police resources to prevent crime. Asprits of professionalism is obviously an important part of this obyective.



A Pendahuluan

Kata atau istilah korupsi tak henti-henti menghiasi mas media Ibu Pertiwi. Baik korupsi sebagai peristiwa atau kejadian baru diungkap maupun berupa tulisan atau makalah dari sederet orang pinter yang bermaksud memberi sebuah opini. Awal populernya istilah korupsi sebagai pemberitaan saat kita menggugat kepemimpian Pak Harto sekitar 10 tahun lalu. Sebagai sebuah catatan buruk, atau sebagai sebuah onggokan dosa Orde Baru. Diantaranya, adalah KKN ( korupsi, kolusi, dan nepotisme )
Tema KKN sebagai pijakan awal gerakan reformasi, KKN perlu segera digaris bawahi bahwa KKN adalah semacam penyakit kanker yang secara perlahan akan membuat Ibu Pertiwi berjalan sempoyongan dan kemudian mati.KKN telah membangunkan anak bangsa, untuk bangkit membuat sebuah komitmen yang mengikat semua pihak untuk memerangi korupsi dengan segala daya.
Sambutan anak bangsa ini menggeliat, mereka berlomba membuat sebuah organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ). LSM anti korupsi bermunculan, bak jamur tumbuh dimusim hujan.LSM anti korupsi yang dikenal masih gencar membuat penelitian dan penyidikan adalah ICW dan TII ( Transparency Internasional Indonesia.
Bersamaan dengan temuan-temuan peristiwa korupsi, pemerintah saat itu terjadi krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan ini berlangsung cukup lama, sampai terjadi gerakan rakyat seakan menggambarkan sedang terjadi revolusi sosial. Salah satu tuntutan reformasi adalah “ hapuskan KKN dari bumi Pertiwi “. Kemudian tidak lama lagi tuntutan rakyat tersebut direspon dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme.Bahkan pemerintah waktu itu berhasil membentuk sebuah lembaga yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), dan sebuah Tim TIKOR yang sekarang telah berakhir.
Pergantian kepemimpinan negara saat itu, solah-olah dalam aktifitas keseharianya menjalankan pemerintahan berupa balas dendam. Karena dalam kesehariannya, berupa membongkar kejelekan pemerintahan masa lalu atau sering disebut dengan bahasa populer “ pemerintah saat ini adalah sedang bersih-bersih atau cuci piring dari pemerintah yang lalu “.
Harapan terhadap tugas KPK yang menggunung itu hampir tumpas begitu saja, karena membuahkan sebuah kekecewaan. Hal ini disebabkan oleh hasil penelitian yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi bahwa KPK telah berhasil membongkar kasus korupsi Rp 600 milyar ditambah Rp 364 mil jadi berapa persen total dari dana yang dikeluarkan.negara. Saat itu sempat jadi bahan ejekan yaitu KPK kedatangan tamu tidak diundang yang sengaja datang dari kawasan timur, mengaku telah menikmati hasil korupsi. Namun KPK tidak ada hasrat menyambut, maka menarik para calon undangan KPK. KPK kembali didatangi tamu tidak diundang pejabat ( Bupati/Wakil bupati ) yang hampir habis masa jabatannya dengan dalih setelah pensiun nanti tidak diseret-seret menjadi saksi atau jadi tersangka korupsi.Kalau kedua tamu tersebut, tidak ada tidak lanjut KPK untuk melakukan penelitian penulis yakin dimasa mendatang akan dibanjiri tamu tak diundang.
Rasa-rasanya sulit untuk mengatakan telah ada kemajuan mendasar dalam level strategi dan prioritas pemberantasan korupsi di ibu pertiwi tercinta ini.Telah empat tahun yang lalu sejak United Nation Convention Againt Corruption ( UNCAC ) diterima disidang Majelis Umum PBB ( Resolusi 58/4, 31 okt 2003 ). Serta ditegaskan kembali melalui peristiwa pemerintah telah ikut menandatangani/ meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tanggal 19 September 2006.
Hal yang relative lebih mengkhawatirkan, sampai detik ini paradaeng pemberantasan korupsi masih terhitung mengecewakan.Terlebih telah terjadi proses seleksi pemilihan ketua KPK yang baru, dengan terpilihnya figur pimpinan dari sebuah institusi penegak hukum yang dicap terkorup.Telah memancing banyak pihak untuk ikut berprasangka jelek ( shu udzon ) terhadap institusi terkait yang ikut dalam proses pemilihan sehingga beliau menjadi pilihan terbaik dari yang lebih baik. Dari beberapa tulisan di masmedia baik itu berupa artikel atau tulisan berita terbongkarnya kasus korupsi, penulis tertarik untuk melakukan sumbang saran bukan saran yang sumbang menurut kemampuannya sesuai kerangka berpikir yang dimilikinya

A1 Latar belakang

Tulisan ini merupakan suatu pengamatan dari suatu pernyataan-pernyataan pemerintah resmi baik berupa kebijakan-kebijakan maupun yang berupa tindakan nyata untuk cepat memberantas korupsi,kolusi dan nepotisme.Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dapat disebutkan antaralain :
1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari korupsi,kolusi,dan nepotisme.
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
5. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
6. Keppres Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara
7. Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
8. Inpres Nomor 6 Tahun 1971 Tentang Badan Koordinasi untuk mengkoordinasikan Masalah Uang palsu,narkotika dan Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi
9. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Disamping hal tersebut, pemerintah telah ikut serta meratifikasi konvensi internasional dalam rangka mengeffektikan tindakan pemberantasan korupsi, antara lain;
1. Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Korupsi atauUnited Nation Convention Againt Corruption 7 Oktober 2003
2. Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Korupsi ( Konvensi Wina 2003 ) Report of the adhoc Committee for the Negotation of the Convention Against Corruption of the Work of its First to Seventh Sessions.
Yang menarik untuk dianalisis adalah setumpukan kebijakan dan tindakan nyata untuk melakukan pemberantasan korupsi namun kasus tindak pidana korupsi terus terjadi bahkan cenderung terus meningkat.

B. Rumusan permasalahan.
Yang menjadi permasalahan pemerintah kini dan masa mendatang. Adanya sikap tinadak pemerintah untuk secara terus menerus membenahi aparat penegak hukum baik dalam arti kelembagaan ataupun personal penegak hukum itu sendiri, demikian juga para penyelenggara negaranya.Hal ini disebabkan karena masalah korupsi sudah menjadi epidemic yang juga hidup dilingkungan kantor pemerintah.
Dari beberapa fenomena terlebih dikaitkan dengan langkah-langkah pemerintah sebagai tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebuah permasalahan;
Semakin besar/banyak langkah pemerintah untuk memberantas korupsi, semakin banyak pula tindak pidana korupsi yang terbongkar dan muncul tindak pidana korupsi yang baru dilakukan oleh penyelenggara Negara.

C. Metode analisis

Tulisan ini merupakan hasil pengamatan yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan negara.Berupa praktek penyalahgunaan kekuasaan ( douternemen depouvour ) yang merugikan negara.Dari kejadian tersebut pengamat melakukan analisis dengan mendekatkan pada teori/pendapat ahli dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Analisis itu dilakukan dalam kajian kepustakaan yang membahas masalah korupsi.
Hasil kajian tersebut, dituangkan dalam penulisan melalui metode deskriptif analisis, yaitu menggambarkan hasil pembahasan kemudian dilakukan analisis untuk memperoleh kejelasan tentang masalah yang dikaji tersebut.

C.1 Kerangka teori/ Metode.

Penulis dalam membahas korupsi, tertarik untuk menelusuri dari akarnya terjadinya..korupsi. Terlebih dulu melihat istilah korupsi dalam kamus bahasa inggris karangan I Markus Willy berasal dari kata Corrupt artinya jahat, busuk/ menjadi jahat,membusuk, Corrubtible artinya mudah disuap.Dalam kamus bahasa Indonesia korup artinya berkenaan dengan menerima suap, memanfaatkan jabatan untuk mengeruk keuntungan secara tidak syah, sedang korupsi artinya perbuatan berupa menerima suap, memanfaatkan jabatan untuk mengeruk keuntungan secara tidak sah.Dalam definisi tersebut terdapat unsure-unsur dari pengertian korupsi yaitu (a)menyalah gunakan kekuasaan (doternement depouvour)(b)kekuasaan yang dipercayakan( baik sector public maupun swasta)memiliki akses bisnis atau keuntungan materiil(c)keuntungan pribadi( tidak selalu berartihanya untuk pribadiorang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarga dan teman-temannya). Istilah korupsi dalam kostitusi yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pasal 1 sebagai berikut ; korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi;kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara;nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, dan atau negara.
Selanjutnya penulis mempelajari pelakunya adalah manusia.Penulis akan membahas melalui pendekatan agama. Manusia dilihat dari awal penciptaannya dalam firman Allah surat attain ayat 4 artinya sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya( laqod kholaqnal insaana fii akhsanitaqwiim )Memang manusia diciptakan Tuhan lebih sempurna dibandingkan makhluk lainya. Karena manusia memiliki akal pikiran dan budi ( etika, moral,qolbu ). Tidak berarti dengan itu manusia dapat terhindar dari hal yang mencelakakan. Justru dengan akal banyak manusia dapat celaka.Dengan kesenangan manusia dapat celaka ( lihat arti corrubtible )( surat at takaatsur ayat 1 bunyinya alha kumuttakaatsur )
Penulis lebih tertarik pada sebuah hadits nabi Muhammad saw tentang pernyataan bahwa manusia adalah tempat pelupa dan kemiskinan mendekati kekufuran( karo faq’u anbakuuna kufro ).Antara sabda nabi dan firman sangat berhubungan bahwa manusia bila diberi kesenangan terlebih-lebih diberi kemiskinan akan menjadi ingkar atau kufur. Kufur adalah suatu kondisi yang menggambarkan seseorang yang tidak mau mentaati aturan atau kewajiban atau bisa disebut dengan predikat jahat.( corrupt ) . Penulis akan memulai pembahasan korupsi dari kedua sabda nabi yaitu manusia yang lemah dan kemiskinan baik dalam arti sempit atau dalam arti luas.

D. Pembahasan
D.1 Korupsi karena kebutuhan

Seseorang yang tadinya baik tiba-tiba bisa menjadi buruk karena ada beberapa factor yang pertama tentunya karena kebutuhan materiil ( sesuai hadist nabi kemiskinan dekat dengan kekufuran ) atau sering disebut corruption by need.Hal ini dalam lapangan banyak terjadi namun dampaknya tidak begitu fatal artinya dampak tidak mampu mempengaruhi system kehidupan dalam masyarakat, misalnya banyak pegawai yang terlambat kerja karena mencari sambilan sebagai tukang ojek, bagi pegawai yang ditempatkan bagian pelayanan dengan memperlambat dengan harapan dapat upah atas pelayanan yang diberikan.Menurut pendapat Syeh Hussein Al atas mengatakan ; terjadinya korupsi adalah apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud memengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan sipemberi.Kadang-kadang juga dapat berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pegawai tersebut.Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yaitu permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas public yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri( Prodjohamidjojo 2001;11).
Pendapat tersebut diakui banyak menjadi faktor penyebab yang cukup dominant, baik pada kelompok pegawai kecil ( rendahan ) dan bisa juga pada kelompok pegawai klas atas. Pengaruh pada pegawai kecil contoh pegawai yang ditempatkan pada pelayanan pengurusan KTP di Kantor Kalurahan/ Kades.Tapi perlu dicermati kejadian pelanggaran terhadap norma dari seseorang untuk mencari keuntungan untuk dirinya dengan mengabaikan kerugian/bahaya pada orang lain sudah menggejala keseluruh lapisan masyarakat. Contoh penjualan ayam bangkai ( ayam tirem ), daging sapi glonggongan dansebagainya.Tingkat kejadian sudah pada tingkat yang membahayakan.Ini merupakan tugas pemerintah untuk selalu melakukan penyuluhan agar timbul adanya perubahan mental pada masyarakat. Sebagaimana pendapat G Peter Hoefnagels ;keadaan tersebut merupakan bagian politik sosial seperti perencanaan masyaraka, penyehatan mental masyarakat( social and mental hygiene )yang tidak semata-mata bertujuan untuk pencegahan tidak pidana, semuanya dalam kerangka usaha peningkatan kondisi social dan merupakan bagian penegakkan hokum yang bersifat preventif( Dr Abdussalam SH MH 2000;93)selanjutnya dikatakan kepentingan-kepentingan social yang perlu dilindungi menurut Bassiouni adalah antara lain; perlindungan warga masyarakat dari kejahatan,kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain.

D.2 Korupsi karena miskin moral/iman.

Korupsi yang dilakukan oleh para pimpinan, kebanyakan dari mereka bila dilihat dari segi ekonomi sudah mapan.Sehingga timbulnya korupsi dikarenakan oleh sifat rakus atau pengamat lebih suka disebutnya kemiskinan moral/iman.Karena sudah tidak kenal malu bahkan bangga telah berhasil mengelabuhi contoh mantan pimpinan LPND suami istri yang bangga dapat melakukan mutasi ke jabatan yang usia pensiunnya lebih panjang dengan memerintahkan pimpinan instansi yang berwenang ataupun pada bawahanya.Inilah awal dari timbulnya korupsi yang dilakukan oleh pimpinan yang berawal dari suatu perintah kemudian didukung pula adanya adagium setiap perintah harus dijalankan oleh bawahan.Disamping itu pula masih adanya system yang hidup dalam masyarakat. Adanya adagium setiap pimpinan harus dihormati sehingga dengan demikian harus dilindungi sekalipun tindakannya tidak dibenarkan, contoh pernyataan/usulan yang ditujukan pada mantan gubernur Bank Indonesia walaupun beliau telah mengakui telah menerima uang tersebut tapi supaya dianggap selesai ( SP 3 ). Hal ini sesuai dengan kata aslinya korupsi dari bahasa Belanda “ straafbaarfeit “ yang berasal dari dua kata yaitu straafbaar artinya dapat dihukum dan feit artinya sebagian dari kenyataan, sehingga arti keseluruhan sebagian kenyataan yang dapat dihukum. ( Evi Hartuti 1999; 24 ). Lebih lanjut pendapat Simon yang mengatakan bahwa
Straafbaar feit adalah tindakan melanggar hokum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.Js Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh,status,gengsi untuk kepentingan pribadi ( keluarga, golongan,kawa) Pimpinan suatu institusi karena ditangannya terdapat kewenangan yang diartikan sebagai perintah . Sehingga dianggapnya sebagai sesuatu yang dibolehkan dan barang siapa yang tidak mematuhinya sebagai melanggar perintah atasan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen dalam tulisannya General Theory of Law yang mengatakan is of the opinionthat a command is distinguished from other significations of desire, not bythe style in which the desire is signified, but by the power and purpose of the party commanding to inflict and evil or pain in case the desire be disregarded.Arinya kekuasaan Negara itulah yang memberikan perintah dalam bentuk hokum, bukan sekedar keinginan atau hasrat tertentu. Selanjutnya Hans Kelsen melanjutkan pendapatnya bahwa perintah itu mengikat.Mengatakan : “ a command its binding, not because the individual commanding has actual superiority in power. But because he is ‘authorized’ or ‘empowered’ only if normative order, which is presupposed to be binding, confers on him this capacity, the competence to issue binding command.’
Artinya suatu perintah adalah mengikat, bukan karena kewibawaan individu yang memiliki suprioritas dalam kekuasaan , tetapi karena dia disyahkan dan diberi kewenangan mengeluarkan perintah yang bersifat mengikat. Dan ia adalah syah berkuasa atau diberi kekuasaan hanya jika peraturan hukum mensyaratkan mengikat, memberi padanya kapasitas mengeluarkan perintah yang mengikat .

Berdasar pada teori tersebut diatas aturan hukum dapat disisipkan didalamnya sebuah pesanan rezim yang dikemas sedemikian rupa menjadi seolah-olah sebuah perintah walaupun mungkin dapat bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.Contoh yang paling menarik adalah menyangkut peradilan di Indonesia yang di kemukakan Prof Ahmad Ali ( Jurnal Ultimatum STIH IBLAM edisi II ) “Persoalan Peradilan di Indonesia sangat menarik bukan karena baiknya proses peradilan, namun karena buruknya image dimata public baik Indonesia maupun intrnasional. Salah satu contoh, kasus peradilan Tomy Soeharto yang memang tidak diputus bebas, tetapi hanya dijatuhi vonis 15 tahun, karena terbukti melakukan pembunuhan berencana pada Hakim Agung Syafiuddin,menyimpan senjata illegal di Hotel Cemara.

Kasus korupsi yang marak terjadi dan sedang dalam proses pengungkapan sesuai dengan teory diatas seperti contoh pada Gubernur Bank Indonesia yang melibatkan aparat yang luas baik yang ada pada Bank Indonesia sendiri maupun ke anggota Parlemen ( DPR ), maka biasanya kasus korupsi sifatnya ruwet,karena bila dikaji proses keluarnya keputusan dari sudut Hukum Administrasi memenuhi syarat formal. Karena melalui prosedur pembicaraan antar direktur, kemudian antar deputi dan terakhir deputi senior gubernur.Namun yang menjadi masalah adalah dana tersebut seharusnya diperuntukan untuk pengembangan SDM BI yang menjadi domein YPPI menjadi diperuntukan untuk biaya bantuan hukum para pejabat BI.Dari permasalahan tersebut mulai masuk ranah Hukum Pidana khusus, karena terdapat unsur-unsur douternement de paouvour ( pelampauan kewenangan ) dan onrechtmatighaed ( melawan hokum ). Hal ini sesuai yang diungkapkan anggota DPR (tertuduh)ternyata dana yang seharusnya mengalir ke DPR Rp 31 ml ternyata hanya Rp 24 ml, berarti selisihnya untuk kebutuhan pribadi. Kasus yang menimpa para Bupati demikian juga karena mereka menafsirkan sebuah perintah sebagai sesuatu yang harus dijalankan dan sebagai sesatu yang dikhalalkan menurut individu yang melakukan. Akhirnya hal yang menyangkut sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan ternyata dilakukan demi pesanan rezim ( menjadikan Hutan Lindung disulap menjadi pusat kota Modern ).Dari peristiwa tersebut pelaku sudah tidak memperhatikan nilai-nilai yang seharusnya diperhatikan tanpa memikirkan kerusakan yang diakibatkan tindakannya tersebut.Orang demikian sudah tidak masuk dalam kategori sebagai makhluk yang mempunyai derajat yang tinggi dihadapan Tuhannya, tetapi masuk dalam kategori makhluk yang paling rendah dihadapan Tuhan ( as fala stafilin ).Kasus straafbaar feit ( korupsi ) dimasa yang akan datang sangat berkembang pesat, untuk membongkar kasus tersebut memperlukan profesionalisme khusus artinya untuk membongkar kasus tersebut diperlukan keahlian ilmu tertentu, karena kasus tersebut sangat tersembunyi dibawah norma-norma hokum seolah-olah benar.Penulis memprediksi tindak korupsi masih terus akan marak dan berkembang yang lebih sulit dideteksi contoh temuan yang disinyalir terjadi di BPH Migas menyalah gunakan BBM subsidi negara dirugikan Rp 700 ml dan ada dugaan tersebarnya Travel cek ( 400 ) disinyalir banyak ada yang telah mencairkan sejumlah 40 lmbr. Sehingga dimasa mendatang penyidik memerlukan profesionalisme dan dituntut adanya kejujuran baik dari penyuap ataupun penerima .Hal ini juga dilakukan oleh pimpinan atau pejabat publik yang takut pension dan institusi yang dipimpinnya mempunyai jaringan yang sangat luas karena semua institusi pemerintah dalam aktivitasnya selalu melibatkan institusi tersebut, dalam hal urusan pembinaan aparatnya. Kewenangan yang ada tersebut dimanfaatkan saat menghadapi purna bakti,dengan melakukan mutasi pada jabatan yang usia pensiunnya lebih panjang dengan mengajak istri dan teman seperjuangkan ( apakah hal tersebut tidak melanggar UU no 28 th 1999 tentang KKN ).Pelaku tersebut sudah tidak mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan yang ada pada dirinya missal pelaku tersebut sebagai pejabat yang didalamnya memiliki fungsi atau kewenangan untuk melakukan nasehat/pertimbangan pada pejabat pada institusi lain untuk tidak melakukan, misal ada instansi yang akan melakukan keputusan untuk memperpanjang usia pension karena staf tersebut sangat patuh atau karena utang budi sebagai tim sukses Bupati, tapi ternyata secara diam-diam pimpinan tersebut melanggar untuk keuntungan dirinya. Dan mungkin juga selaku pimpinan suka diminta untuk memberi nasehat pada acara pelepasan anak buahnya yang memasuki masa purna bakti, ia menasehati pada anak buah tersebut supaya mensikapi dengan ungkapan sikap legowo . Namun ia dibelakang mengotak-atik aturan hukum supaya ia dapat terlindungi dengan menyalah gunakan kewenangan demi keuntungan dirinya dan keluarganya, tanpa memikirkan nilai-nilai yang rusak akibat tindakannya yang dilanggarnya maupun nilai/citra yang menimpa dirinya sebagai public figur yang seharusnya dapat menjadi tauladan dihadapan anak buahnya. Bukan hal tersebut saja yang seharusnya dipikirkan yaitu bagaimana setelah aturan tersebut dilanggar apakah akan menimbulkan kewibawaan aturan tersebut harus dipatuhi terlebih terhadap insitusi yang dengan kewenangannya seharusnya melakukan pembinaan, belum pada system yang ditimbulkannya tentu akan merusak.

Prof Baharudin Lopa berpendat motif melakukan perbuatan pidana korupsi ada yang berkedok melakukan perbuatan yang bersifat kemanusiaan missal membantu orang memasukan ke pegawai negeri dengan melalui seseorang dengan memungut sejumlah dana dan sebagainya. Ada yang melakukan korupsi karena motif ganda yaitu motif untuk kepentingan individu dan kepentingan partai seperti yang sedang ditangani kejaksaan yang melibatkan pejabat publik ( anggota DPR ).
Js Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status dan gengsi untuk kepentingan pribadi ( keluarga,golongan,kawan dan teman ) Hal ini kita ingat kejadian pada malam lebaran yang dilakukan oleh seorang pejabat Kajari di Gorontalo yang merasa diremehkan karena tidak diperhitungkan oleh aparat Pemda dan mencurigai aparat lain ( Polisi ) telah diperhatikannya( rekaman KPK )





D.3 Solusi pemberantasan Korupsi

D.3.1 Pembenahan dan Pemberdayaan Fungsi,Peran dan Tugas Penegak Hukum.
Tindak pidana korupsi dalam fakta dilapangan sudah menjadi epidemi yang hidup dilingkungan kantor pemerintah. Dalam pengamatan penulis untuk menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi ditentukan adanya beberapa tindakan yang menjadi prasyarat, antara lain ;

Dukungan langsung atau tidak langsung dari seluruh komponen bangsa
Penyusunan, implementasi dan operasionalisasi rancang tindak bersama atau individual) yang dilakukan secara terpadu dan bersama oleh segenap unsur terkait, termasuk LSM dan kampus.
Pembangunan komitmen setiap warga masyarakat untuk memelihara profesi penegak hokum.
Pembenahan Lembaga Hukum sebagai anteseden bagi pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap Supremasi Hukum.
Realisasi dukungan langsung yang dilakukan pemerintah dengan melakukan pembentukan intregitas moral ( moral force ) para penegak hokum. Ini dilakukan dengan membenahi kondisi para pengemban tugas dan peran para penegak hukum. Integritas dan kekuatan moral para penegak hokum sangat menentukan effektifitas pemberantasan korupsi demi penegakkan hokum positif yang dicita-citakan bukannya hokum yang lumpuh ( Rahardjo; 1999;15 ). Yang menentukan untuk membentuk integritas moral dan kekuatan moral penegak hokum adalah dengan memperbaiki ;
1. Economy risk, yaitu tingkat kesejahteraan dan resiko kesejahteraan para penegak hokum.
2. Politic risk, yaitu memberi dukungan sarana dan prasarana serta anggaran bagi para penegak hokum agar dapat melaksanakan tugasnya yang maksimal.( contoh pemerintah telah menaikan gaji hakim 300% )
Prof Baharudin Lopa ( Kompas 9-10-1996 )berpendapat apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata ketidak berdayaan pemerintah dan aparat penegak hokum dalam upaya pemberantasan korupsi bukan disebabkan oleh kurang baiknya undang-undang melainkan karena factor utama kelemahhan system yang merupakan produk integritas moral . Keberhasilan memperbaiki system tersebut sangat tergantung pada integritas moral seseorang, sebab yang memiliki pikiran bahwa system perlu diperbaiki adalah orang yang bermoral pula. Selanjutnya berkata kelemahan lain adalah keteladanan yang dimulai dari lapisan atas. Keteladanan ini di Indonesia sangat sulit dicari, contoh realita yang terjadi pada mantan pimpinan LPND suami istri melakukan mutasi ke jabatan yang usia pensiunnya lebih panjang yang diproses secepat kilat.Padahal aturan mutasi dapat dilakukan paling lambat satu tahun sebelum usia pension, tapi yang dilakukannya dua atau tiga bulan sebelum usia 60 tahun ( bertentangan dg PPno. 9 Th 2002 tentang Wewenang Pemindahan… )
Pembenahan kelembagaan hokum . Dengan melakukan reformasi terhadap pelaksanaan pembenahan kekuasaan kehakiman yang dirasakan belum merdeka. Reformasi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yaitu dengan melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945 ( pasal 24,25 ).Mengubah kekuasaan kehakiman yang tadinya dibawah pembinaan Departemen Hukum dan Ham diubah menjadi seluruh badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung.

Hal pokok lain adalah melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan melakukan penambahan pada pasal 24 dan 25 . Dalam rangka melakukan pembenahan Lembaga-lembaga Hukum untuk menciptakan suatu Lembaga Penegak Hukum yang tangguh dan dapat menghasilkan produk keputusan yang adil dan benar. Disebutkan dalam passal 24 B Undang-undang Dasar 1945, tentang pembentukan Komisi Yudisial berbunyi :

1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan penngangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim


2. Anggota Komisi Yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang hokum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Diharapkan Komisi Yudisial dapat berperan serta dalam pembenahan para penegak hokum yang betul-betul merdeka ( artinya bebas dari kekuasaan manapun ). Dalam meningkatkan / memaksimalkan peran Komisi Yudisial, maka disusun suatu program pembentukan jejaring di delapan provinsi dengan menggabungkan pemerintah provinsi terdekat yang berbasis pada fakultag hokum, LSM dan Ormas dengan progam kerja antara lain ;
1. Melakukan riset terhadap putusan-putusan hakim didaerah, baik putusan yang terindikasi melanggar kode etik / pedoman perilaku hakim, prinsip imparsialitas dan profesionalitas, maupun putusan yang adil dan benar
2. Pendidikan dan kampanye public melawan mahfia peradilan dan investigasi pelaku mahfia peradilan
3. Advokasi public korban praktek mahfia peradilan
4. Melakukan koordinasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan utuh mengenai pedoman perilaku hakim yang sesuai dengan nilai-nilai etika universal dan prisip-prinsip
5. kehati-hatian dan transparansi.
Khusus bidang penanggulangan korupsi sangat mendapat apresiasi dari pemerintah yaitu dengan membentuk Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ). KPK diberi kewenangan yang lebih ( khusus ) dalam melakukan pemberantasan Korupsi. KPK bila telah mendapat data adanya tindak pidana korupsi pada suatu institusi pemerintah, maka KPK dapat langsung memerintahkan pada pihak Bank untuk memblokir rekening tersangka serta meminta data kekayaan, data pajak dan meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hokum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti diluar negeri sekalipun. ( pasal 12 UU no. 30 th 2002 ).

Dari fenomena-fenomena tersebut mengundang pemerintah geram yang ditandainya dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengatakan tidak ada toleransi bagi kejahatan korupsi baik di pusat maupun didaerah. ( sambutan Presiden RI pada sidang paripurna DPR 22/8 2008 )
Pernyataan tersebut bukan retorika belaka. Tapi sudah menjadi kebulatan tekad dan sudah menjadi ikon yang sengaja ditonjolkan pemerintah. Wacana kontemporer yang telah dikembangkan lebih dari sekedar pengucapan tekad dan himbauan moral yang diulang-ulang lewat pidato-pidato resmi. Namun pembicaraan telah bergulir jauh lebih progresif yaitu bagaimana memberikan hukuman maksimal pada koruptor sehingga mereka tidak lagi berani mengulangi lagi perbuatannya dan pihak-pihak yang akan berbuat dilingkupi perasaan jera untuk melakukannya. Semua dilakukan karena korupsi dianggapnya berbahaya bagi kemaslahatan bersama. Setidaknya ada enam metode yang hangat didiskusikan guna menindak para koruptor.
Pertama tersangka,terdakwa dan terpidana kasus korupsi menggunakan pakaian khusus, kedua terpidana kasus korupsi dipenjarakan di Nusakambangan,ketiga terpidana korupsi dikenai hukuman tambahan berupa kerja social, keempat identitas lengkap dan jenis kejahatan yang dijalankan terpidana korupsi dibeberkan melalui publikasi yang massif sehingga masyarakat mampu mengakses, kelima terpidana kasus korupsi dijerat hukuman mati dan keenam dihimbau pada kepada semua pihak yang mengetahui ada tindak pidana korupsi supaya melapor pada pejabat yang berwajib ( Polisi, KPK ) dan pelapor dilindungi oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Pelapor.
Semua jenis hukuman bertujuan agar menumbuhkan perasaan jera pada para pelaku ataupun calon pelaku. Sasaran utama yang dituju adalah bukan sekedar mempermalukan, tetapi sengaja dihinakan dan ingin menunjukan tubuh para koruptor telah tidak berguna dan dirasakan amat menjijikan dalam kehidupan social.Tuhan telah menggambarkan dalam firmanya yang berbunyi asfala safilin( artinya sesuatu yang sangat rendah ).
Model penghukuman demikian telah dilaksanakan pada tahun 1926 pada kajian Filosof Michel Foucau dalam karyanya yang berjudul “ Disciplin and Punish ( 1977)( Triyono Lukmantoro ). Foucault mengkaji bagaimana kekuasaan mengerahkan teknik-teknik tertentu untuk menghujamkan hukuman bagi pihak-pihak yang dianggap melanggar hokum. Tubuh para terhukum disiksa karena dinilai telah melabrak ketentuan hokum sang raja. Aspek hukuman yang bersifat spektakulair sengaja dipertontonkan.Dimaksudkan agar orang lain mengalami ketakutan.Di Indonesia hukuman mati telah diakomodir dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 namun belum memberikan efek jera karena ditandai dengan tertangkapnya anggota KPPU dan belum memberi kesan hakim untuk menghukum para koruptor dengan hukuman yang berat yaitu ditandai dengan penjatuhan hukuman pada Bupati Pelalawan dengan hukuman ringan pada telah banyak merugikan Negara lebih dari satu trillyun melebihi yang dilakukan oleh jaksa Urip Trigunawan.

D.3.2 Pemberantasan Korupsi di Singapura
Singapura adalah Negara pulau yang terkecil di ASEAN yang paling kaya, makmur, aman dan tertib. Walaupun Singapura tergolong Negara makmur, tertib dan paling kecil korupsinya tetapi Singapura tetap mempunyai tekad membentuk Badan Anti Korupsi yang disebut CPIB ( Corrupt Practices Investigation Burrau ) Undang-undang anti Korupsi pun segera dibentuk sejak tahun 1960 yang kemudian beberapa kali di amandemen yaitu Tahun 1963, 1966, 1972, 1981, 1989 dan 1991. Konstitusi yang mengatur Korupsi sering dikenal dengan singkatan PCA ( Prevention of Coruruption Act ). PCA disusun dilator belakangi oleh kenyataan pada letak geografis dari posisi Singapura dalam kegiatam ekonomi di ASEAN yaitu sebagai pusat perniagaan antar Negara tetangga dengan Negara luar, maka PCA dibentuk untuk mencegah adanya tindakan korupsi ditubuh Kantor Bea dan Cukai. Berbeda dengan Hongkong membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi karena dipicu dengan merajalelanya korupsi dikalangan Kepolisian.( Prof Andi Hamzah 2005;57 ) Pendirian CPIB didukung sepenuhnya oleh Sesepuh Singapura yaitu Lee Kuan Yew. Kewenangan penyidik CPIB diatur dalam CPC ( Criminal Prosedure Code ) pasal 122 bahwa penyidik dapat melakukan penyidikan tanpa dibekali Surat Perintah. Perlindungan saksi /pelapor dan informasi saksi tidak diwajibkan atau diizinkan untuk mengungkap nama dan alamat seorang pelapor atau memberikan sesuatu pernyataan yang dapat menjurus pada ditemukannya identitas pelapor. Yang perlu mendapat perhatian dari kasus tindakan korupsi meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 10, 11 PCA disamping meliputi penyuapan juga ada disebut korupsi tidak substantive yang meliputi antara lain; enggan memberi informasi, menghalangi jalannya peradilan korupsi.
Yang menggembirakan CPIB ( Komisi Anti Korupsi ) tidak terlalu pusing / sibuk karena masyarakat Singapura sudah tertib, kesadaran hokum pejabat dan rakyatnya sudah tinggi ( Kesadaran hokum yang memenuhi dimensi baik kognitifnya maupun afektifnya ) serta pemerintahnya sudah bersih ( clean government ).Tidak seperti di Indonesia pejabat tingginya yang seharusnya menjadi teladan yang baik tapi justru mempelopori tindak korupsi terlebih dahulu dan tidak mau diberi peringatan.


Daftar Pustaka

Evi Hartuti, SH ,Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika , Jakarta 1999

Prof Ahmad Ali , Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,BP IBLAM 2004.
Dr Adnan Buyung, SH ,Tindak Pidana Korupsi, 2000.

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR LEMBAGA


Abstract
Attendance Constitutional Court in constitutional law in Indonesia,initially generating many problems.Particularly when many yielded decisions don’t express the justice value in society.

Pendahuluan


Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga Negara atau alat-alat perlengkapan Negara adalah selain untuk menjalankan fungsi Negara,juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia dikenal beberapa istilah yang dipergunakan untuk mengidentifikasikan lembaga Negara atau organ-organ penyelenggara Negara.Didalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS )1949, pada masa ini dipergunakan istilah “ alat-alat perlengkapan federal “ pada Undang-undang Dasar Sementara ( UUDS ) 1950 dengan istilah” alat-alat perlengkapan Negara”.
Istilah lembaga Negara dalam UUD 1945 tidak ditemui, hanya disebut istilah “badan” pada pasal 23 ayat (5) untuk menyebut Badan Pemeriksa Keuangan, demikian juga pada pasal II Aturan Peralihan dan Penjelasannya hanya dikenal istilah “badan”
Istilah lembaga Negara dikenal dan banyak dijumpai dalam ketetapan MPR sebagai penafsiran istilah badan yang digunakan dalam UUD 1945.Untuk kali pertama istilah lembaga Negara digunakan dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI hanya menyinggung istilah “lembaga tertinggi negara” dan “lembaga tinggi negara”.Kemudian istilah lembaga Negara digunakan pada Tap MPRS No. X/MPRS/1969 tentang Kedudukan semua lembaga-lembaga Negara tingkat pusat dan daerah pada posisi dan fungsi yang diatur dalam UUD 1945.
Perkembangan berikutnya ditetapkan dalam Tap MPR No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan dan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, disinilah mulai menemukan jejak konsepnya.Dalam Tap MPR tersebut istilah lembaga Negara dibagai dalam dua kategori yaitu “ lembaga tertinggi”dan “lembaga tinggi Negara”. Dari kedua istilah tersebut terkandung maksud adanya “hierarki structural” artinya lembaga-lembaga yang masuk dalam kelompok lembaga tinggi ( Presiden, DPR, BPK,MA,DPA ) harus bertanggungjawab atau tunduk pada lembaga tertinggi Negara (MPR).
Perkembangan di era pemerintahan reformasi setelah UUD 1945 di amandemen dan setelah diundangkannya Undang-undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi istilah lembaga Negara justru kembali tidak disinggung baik menyangkut masalah mana yang masuk dalam kelompok dan kriteria lembaga Negara.Oleh karena itu dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai penafsiran tentang pemahaman lembaga Negara sebagaimana disebut pada pasal 67 UUno.24 Tahun 2003 tentang MK ( Abdul Muktie Fajar,2006;184 ).
Disisi lain pilihan penerapan system pemisahan kekuasaan ( separation of power )secara tegas yang menempatkan lembaga-lembaga Negara dapat saling mengontrol dan mengimbangi ( checks and balances ) membuka peluang bagi munculnya sengketa antar lembaga Negara. Contoh sengketa lembaga Negara antara Presiden dan DPR kewenangan siapa, belum diatur.( Ismail Suny,Seminar Pembangunan Hukum,2006;110),ketentuan termuat pada pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ( amandemen ):
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa kekuasaan kehakiman ( kekuasaan Yudikatif ) dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ( MK).
Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai “Penjaga Konstitusi”hal ini sangat diperlukan dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengharuskan berpedoman pada norma-norma hokum.Pasal 24 C ayat ( 1,2)UUD1945 ( amandemen ):
1) Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa,mengadili, dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar ( judicial revew)
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar
c. Memutus Pembubaran Partai
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Sesuai penjelasan diatas, tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dikaji terutama kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga Negara tertentu apakah hanya sengketa yang ada pada lembaga Negara tertentu saja.
B. Permasalahan


Berdasarkan uraian diatas, terutama tentang uraian kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dilakukan kajian.Karena dari kewenangan itulah melahirkan sebuah permasalahan antara lain dapat disebutkan :
1 ) Apa yang menjadi batasan atau kriteria dari lembaga Negara yang penyelesaian sengketanya menjadi kewenangan MK dan bagaimana cara MK menyelesaikannya ?
2 ) Bagaimana posisi MK apabila dalam sengketa antar lembaga satu lembaga Negara tersebut adalah MA ?

C. Pembahasan

Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional MK
Pelaksanaan kewenangan konstitusional MK berpedoman pada Hukum Acara MK yang terdiri dari hokum acara umum untuk semua kewenangan MK ( diatur pada pasal 28 sampai dengan 49 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 ) sedang acara khusus untuk setiap kewenangan MK yang dilengkapi lebih lanjut dengan berbagai Peraturan MK ( PMK ) sebagaimana diatur pada pasal 86 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan untuk “memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara” , diatur pada pasal 61 sampai dengan 67 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Adapun yang dapat menjadi pihak pemohon adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, sedang pihak termohonnya adalah lembaga Negara yang mengambil kewenangan lembaga Negara lainnya.

2 Kriteria Lembaga Negara

Sehubungan dengan ketidak jelasan batasan lembaga Negara yang diatur dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, terutama setelah dilakukan amandemen menimbulkan berbagai penafsiran atau pendapat dari para ahli/pakar ketatanegaraan.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ( KHRN ) dalam buku Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga, karena ketidak jelasan tentang kriteria lembaga Negara maka menimbulkan beberapa penafsiran :
1) Pendapat pertama membagi lembaga Negara kedalam dua bagian yaitu lembaga Negara utama ( main state’s organ )dan lembaga Negara Bantu ( auxiliarly state’s organ)
Menurut pendapat ini yang dimaksud lembaga Negara utama adalah mengacu paham trias politica yang memisahkan kekuasaan tiga poros,kekuasaan eksekutif,kekuasaan legislative,kekuasaan judikatif. Dengan demikian yang termasuk lembaga Negara utama adalah MPR,DPR,DPD,Presiden, MA,MK.dan lembaga Negara lainnya termasuk lembaga Negara Bantu.
2) Pendapat yang mendasarkan pada hasil amandemen UUD1945,yang membagi
System kelembagaan menjadi tiga bidang/fungsi,yaitu bidang Perundang-undangan,bidang yang berkaitan dengan pengawasan,dan bidang yang berkaitan dengan pengangkatan hakim agung. Pendapat yang dikemukakan oleh Prof Dr Sri
Soemantri menafsirkan lembaga Negara hasil amandemen UUD1945 ada delapan lembaga Negara, yaitu BPK,DPR, DPD,MPR,Presiden,Wakil Presiden,MA,MK,KY.
3) Bintan R.Saragih membagi kelompok lembaga Negara dilihat dari segi fungsinya
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara, yaitu lembaga eksekutif,lembaga legislative dan lembaga judikatif.Hal yang sama juga Jimly Asshidiqie mengemukakan gagasannya berdasarkan kekuasaan yang dilembagakan dan diorganisasikan dalam bangunan kenegaraan.Perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia tidak hanya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga berwujud struktur dan mekanisme kelembagaan Negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya system hokum dan berfungsinya system demokrasi.Sedang system pengorganisasiannya ada dua macam yaitu pemisahan kekuasaan ( separation of power ) dan pembagian kekuasaan ( distribution/devision ). Setelah amandemen UUD1945 yang terjadi adalah pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal,dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi yang tercermin kedalam lembaga-lembaga Negara yang setingkat dan saling mengimbangi ( checks and balances ).Jadi lembaga Negara menurut pemikiran Jimly Asshiddiqqie bahwa lembaga-lembaga Negara yang melaksanakan “ porsi-porsi” kekuasaan yang telah dipisah-pisahkan.
Penyelesaian Sengketa Antar Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Secara formal, Indonesia setelah amandemen UUD 1945, telah mengatur mekanisme penyesaian sengketa kewenangan antarlembaga, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi.
Dalam UUD 1945 hasil perubahan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Persoalan selanjutnya adalah dalam ketentuan UUD 1945 hasil perubahan sama sekali tidak terdapat ketentuan hokum yang mengatur tentang definisi “ lembaga Negara”, sehingga banyak pemikir hokum Indonesia melakukan penafsiran sendir-sendiri dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaiga Negara.Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,tidak menjelaskan dan merinci lembaga Negara mana yang menjadi pihak di Mahkamah Konstitusi, dan memberi batasan tambahan yang tidak diatur dalam UUD 1945, yaitu dinyatakan bahwa “ Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa antar lembaga Negara”.Salah satu petunjuk yang diberikan UUD 1945 sebagaimana ditentuka pada pasal 24 C ayat 1 yang berbunyi : salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat mengamati pendapat dari salah satu hakim anggota HM Laica Marzuki berpendapat : ada tiga kategori lembaga Negara, yaitu yang dibentuk berdasarkan UUD,Undang-undang,dan Peraturan perundangan lainnya. Akan tetapi mengenai lembaga Negara yang apabila bersengketa penyelesaian sengketanya menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi hanyalah “lembaga Negara yang diatur dan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945”.Adapun ada beberapa lembaga Negara yang kewenanganya diatur oleh UUD 1945 antara lain : MPR, Presiden, Dewan Pertimbangan Presiden,Kementrian Negara,Pemerintah Daerah,Kementerian Negara ( ps 18 ayat 2),DPRD Prov,DPRD Kab/Kota,DPR,DPD,KPU,BPK, MA,KY,TNI,POLRI.dari tujuh belas lembaga Negara,namun yang dapat menjadi pihak dalam Mahkamah Konstitusi hanya lima belas karena Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang merupakan pengecualian yang disebutkan diatas.Dari beberapa penafsiran diatas kiranya ada penafsiran yang dapat dijadikan pedoman adalah penafsiran dari H Abdul Mukthie Fajar,SH yang menyatakan ada tiga penafsiran lembaga-lembaga Negara mana yang sengketa kewenangannya menjadi tanggung jawab MK untuk penyelesaiannya yaitu ; 1) Penafsiran luas,mencakup semua lembaga Negara yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945 2) Penafsiran Moderat, yaitu hanya membatasi pada yang dahulu dikenal adanya istilah lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara dan 3) Penafsiran Sempit, penafsiran yang merujuk secara implicit dari ketentuan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Demikian salah satu peran MK dalam mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokrasi berdasarkan konstitusi diwujudkan dalam salah satu kewenangannya, yaitu menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga Negara.Guna mendapat kepercayaan dan simpati masyarakat dalam menyelenggarakan tugas-tugas konstitusional, maka Mahkamah Konstitusi harus bebas dari pengaruh siapapun termasuk kekuatan eksternal, baik dari kalangan eksekutif, legislator ataupun opini masyarakat. Maka pemeriksaan perkara tersebut dilakukan secara terbuka dan MK selalu bersikap netral, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh MK kinerja cukup memuaskan public.

MUNGKINKAH BIDANG PENDIDIKAN DAPAT MENJADI SASARAN INVESTOR ASING DI INDONESIA


Abstraksi
Diawali dengan semangat meringankan beban APBN, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi dengan memupuk semangat kemandirian. Kebijakan kemandirian itu diawali dengan institusi pemerintah yang bersifat pelayanan publik dengan latar belakang agar dapat dilaksanakan lebih baik lagi, seperti Rumah Sakit-rumah sakit baik pusat maupun daerah ( propinsi maun kabupaten ).Setelah itu diperluas kebidang-bidang lain termasuk bidang pendidikan yang mengundang pro kontra, karena masalahnya kontradiktif dengan yang diatur konstitusi ( ground wet ) yaitu UUD Tahun 1945 yang mempunyai konsekwensi yuridis sesuai praduga penyusun akan timbul sikap penentangan terhadap pemerintah yang sementara waktu terbukti yaitu dengan bubarnya kekompakkan Perhimpunan Perguruan Tinggi Negeri dalam penerimaan mahasiswa baru yang efeknya menghalangi kemudahan masyarakat untuk mendaftarkan putra-putrinya ke perguruan tinggi negeri yang dikehendaki khususnya antarprovinsi.

A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi membutuhkan sumber daya alam yang banyak, tenaga terampil yang cukup, manajemen yang baik, stabilitas politik yang mantap dan lain-lain. Namun persoalan klasik terletak pada sumber modal untuk insvestasi, karena baik pemerintah maupun swasta membutuhkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan mungkin dengan import tenaga ahli, ujud pinjaman lunak ( loun ), jasa, maupun barang dan peralatan.
Dalam mengupayakan sumber-sumber tersebut, pemerintah telah banyak menerbitkan kebijakan-kebijakan deregulasi ada yang mendapat tanggapan positif masyarakat umumnya dan dunia usaha pada khususnya. Problem deregulasi dalam implementasinya sering diartikan sebagai usaha pemerintah untuk mengurangi dan atau menghapus peran pemerintah mencampuri di bidang ekonomi. Dari berbagai diskusi dan seminar menanggapi rencana pembentukan badan hukum pendidikan masuk dalam kancah deregulasi bidang ekonomi mendapat tanggapan yang beragam.
Kemudahan yang diharapkan dalam pengaturan bidang ekonomi melalui tindakan-tindakan deregulasi, adalah membantu kelancaran usaha para pelaku ekonomi, yaitu BUMN, Perusahaan swasta atau para pengusaha perorangan. Dengan demikian, melalui pendekatan deregulasi diharapkan kegairahan dan kegiatan ekonomi dapat meningkat. Selain itu, keberhasilan tindakan-tindakan deregulasi tersebut, akan memungkinkan peningkatan prodiktivitas, dan penggalian sumber-sumber lapangan usaha baru, dan mengurangi pengeluaran APBN.
Berbagai kebijakan deregulasi yang telah dilakukan, hingga kini telah mencakup berbagai sektor, seperti; angkutan laut, perbankan, perdagangan, perindustrian, pertanian, dan akhir-akhir ini yang ditempuh bidang pelayanan kesehatan ( rumah sakit ), bidang pelaksana/penyelenggara pendidikan khususnya pendidikan tinggi ( Perguruan Tinggi Negeri ).
Kebijakan deregulasi dibidang pendidikan, ditandai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2007, untuk memberikan kemudahan pada pihak para pelaku ekonomi baik berupa Perusahaan Negara, Swasta perseorangan ataupun asing yang akan menanamkan modalnya dibidang pendidikan. Sebagai tindak lanjut pemerintah telah merancang, sebuah institusi yang dapat mewadahi gagasan tersebut dengan membentuk Badan Hukum Pendidikan
Tujuan yang ingin dicapai melalui pembentukan ketentuan-ketentuan hukum dalam berbagai kebijakan, akan terwujudnya pola dan sikap tertentu dalam perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan deregulasi mengandung makna sebagai kontribusi bidang hukum dalam mewujudkan system perekonomian pada masyarakat yang sedang dalam proses membangun ekonominya.
Selain itu, tindakan deregulasi juga dilaksanakan sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan yang timbul sebagai akibat dari semakin meningkatnya arus informasi dalam era globalisasi yang kini tengah berlangsung. Diharapkan dalam perekonomian Indonesia akan terbentuk suatu pola yang saling mempengaruhi, antara kegiatan ekonomi yang besifat nasional dengan yang bersifat internasional, yang melibatkan hukum dengan kaidah-kaidah tertentu, yang secara doktriner belum tentu harus tunduk pada ketentuan hukum nasional semata, atau hanya tunduk pada hukum internasional atau hukum asing.
Dalam hubungan dengan bidang hukum menurut pendapat Prof Sunaryati Hartono, bahwa hukum mempunyai empat fungsi, yaitu ;
- hukum sebagai pemelihara ketertiban;
- hukum sebagai sarana pembangunan;
- hukum sebagai sarana penegak keadilan;
- hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat;
Dapat dikemukakan bahwa salah satu fungsi hukum dalam perekonomian adalah sebagai sarana untuk melakukan pemerataan (mewujudkan cita-cita keadilan social), yaitu dengan memerinci secara hati-hati kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk memanfaatkan segala sumber yang ada dengan sebaik-baiknya, sehingga hasil positif yang dicapai melalui peran pemerintah dalam perekonomian tidak diragukan. Misal melalui pengaturan sumber daya, kesempatan berusaha, perlindungan warga golongan rendah untuk mendapatkan pendidikan dapat terealisir.

B. SEJARAH KERANGKA DASAR HUKUM EKONOMI
Perhatian terhadap hubungan hukum dan ekonomi baru dimulai sekitar tahun 1930-an, yang mencakup peraturan-peraturan administrasi negara yang membatasi ; kaidah-kaidah hukum perdata dan atau kaidah-kaidah hukum dagang. Pembatasan tersebut, berdasar pada konsepsi Negara kesejahteraan ( welfare state ), yang mewajibkan Negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum. Bukan suatu hal yang aneh bagi seorang anggota masyarakat untuk menghayati bahwa usaha-usahanya dalam mencapai kehidupan yang lebih baik adalah juga tergantung pada usaha-usaha pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Negara. Semakin berhasil Pemerintah meningkatkan perekonomiannya maka semakin dapat diharapkan bahwa anggota masyarakat semakin terbuka kemungkinan baginya meningkat taraf hidupnya. Banyak usaha-usaha pemerintah yang dilakukan untuk mendapatkan pendapatan/ penerimaan, salah satu diantaranya adalah mendirikan badan-badan usaha yang berusaha dalam bidang-bidang tertentu. Usaha Pemerintah yang dilaksanakan oleh badan usaha pada umumnya berbentuk sebuah perusahaan yang berbadan hukum disebut PN.
Sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan usaha-usaha yang bertujuan mendapatkan penghasilan. Usaha tersebut dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang diatur dua peraturan-perundangan dijamannya yaitu ;
- Perusahaan-perusahaan yang diatur dengan Indonesische Bedrijvenwet Staatblad 1927 no. 419 yo staatsblad 1936 no. 445 disebut IBW
- Perusahaan-perusahaan yang diatur Indonesische Comptabiliteits wet Staatsblad 1925 no. 448 disebut ICW.
Kedua perusahaan Negara tersebut mempunyai ciri sendiri yang berbeda satu sama lain, dapat disebut contoh badan usahanya, antara lain ;
- Perusahaan Negara yang diatur dalam Indonesische Bedrijvenwet ( IBW ) mempunyai ciri yaitu pada tiap-tiap tahun memperoleh pinjaman dari Negara untuk pinjaman mana tiap-tiap tahun harus dibayar bunga. Jumlah pinjaman ini selalu diperhitungkan didalam Anggaran Belanja Negara. Perusahaan-perusahaan Negara IBW ini adalah perusahaan yang diusahakan jawatan-jawatan pemerintah. Semua hasil dan beban perusahaan didalam suatu tahun anggaran harus juga diperhitungkan dengan cermat sehingga beban dan hasil perusahaan dapat mempengaruhi Anggaran Belanja Negara Contoh :
- Jawatan Kereta Api
- Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon
- Pelabuhan-pelabuhan seperti Tanjung Priok, Belawan,Semarang dan Surabaya.
Perusahaan Negara yang diatur dalam Indonesische Comptabiliteits Wet mempunyai ciri adalah perusahaan tersebut memperoleh modal dari Anggaran Belanja Negara tetapi tidak diharuskan mengadakan perhitungan yang cermat mengenai beban-beban dan hasil yang diperoleh oleh perusahaan Negara, melainkan disini terjadi suatu pelaksanaan administrasi mengenai jumlah uang yang diperoleh dari Kas Negara dan hasil-hasil yang diterima yang harus juga disetorkan ke Kas Negara, contoh Perusahaan Air Minum Negara.
Usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda melalui Perusahaan-perusahaan IBW
dan ICW pada jaman Republik Indonesia masih dilanjutkan sampai saat-saat tertentu dimana perusahaan tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk usaha menurut peraturan-perundangan yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia. Selain perusahaan-perusahaan tersebut, ada perusahaan yang dikenal pada tahun lima puluhan masih mengenal perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang diatur pada Undang-undang Nasionalisasi tahun 1958 no.86 dikuasai oleh Pemerintah Indonesia.
Dari uraian cerita diatas, bisa ditarik sebuah gambaran bahwa usaha-usaha untuk mendapatkan penghasilan oleh Pemerintah ditempuh dengan berbagai cara. Kebijakan tersebut terus dievaluasi, bila pemerintah memandang kurang effisien dirubah kembali aturannya dilain waktu. Pokoknya pemerintah senantiasa memikirkan Bagaimana seharusnya perusahaan Negara tersebut mendatangkan keuntungan demi tercapainya sasaran yaitu terwujudnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tidak hanya yang dipikirkan bagaimana bisa mendatangkan untung yang sebesar-besarnya, tapi bagaimana supaya melalui perusahaan tertentu rakyat Indonesia dapat memperoleh pelayanan atau jasa dari pemerintah yang sebaik baiknya. Oleh karena itu kita dapat mengerti, setelah merdeka kalau kita mengikuti perubahan kebijakan dibidang ekonomi khususnya tentang perusahaan Negara. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no. 19 tahun 1960, Undang-undang no. 9 tahun 1969 dan Undang-undang no. 19 tahun 2003.
Untuk menambah wawasan kita semua, baiklah penulis akan mengulas secara singkat bentuk-bentuk badan hukum atau badan usaha Negara beserta ciri-cirinya. Bentuk-bentuk badan usaha yang diatur Undang-undang no 9 tahun 1969 dapat disebutkan ada tiga bentuk badan usaha Negara antara lain ;
- usaha negara Perjan ( Perusahaan Jawatan/ Department Agency )
- usaha negara Perum ( Perusahaan Umum/ Public Corporation )
- usaha negara Perseroan ( Public/ State Company )
Adapun ciri-ciri dari masing-masing usaha Negara tersebut antara lain, yaitu; Ciri-ciri Perjan
- makna usaha adalah “public services”, artinya pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat. Namun pemerintah tidak menghendaki bahwa semua usaha yang sifatnya pengabdian pada pemerintah, meninggalkan cara-cara pengurusan yang sifatnya efektif dan ekonomis.
- Perjan disusun sebagai bagian dari Departemen/Direktorat Jenderal/Direktorat/ Pemerintah Daerah. Dengan demikian pembiayaan dari permodalannya termasuk dalam bagian dari Anggaran Belanja yang menjadi hak dari Departemen dan diperhitungkan pada pembicaraan anggaran belanja dari tahun yang bersangkutan.
- sebagai konsekwensi hukum perjan sebagai bagian dari departemen, hubungan hukumnya bersifat hukum publik.
- hubungan usaha antara Pemerintah yang melayani dan masyarakat yang dilayani sekalipun ada unsur subsidi, tetap harus mengikuti prinsip-prinsip business zakelijkhed.
- perjan tidak dipimpin oleh Direksi tapi oleh seorang kepala. Menurut Prof Emmy Pangaribuan SH ciri dari sebuah usaha yang berbentuk Badan Hukum bila dipimpin oleh Direksi, namun karena perjan merupakan bagian departemen dipimpin oleh Kepala.
- perjan selalu mendapat hak untuk memperoleh fasilitas dari Negara.
- pegawai perjan adalah pegawai negeri, pegawai tersebut berasal dari pegawai pada departemen dimana perjan tersebut merupakan bagian.
Ciri-ciri Perum
- Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum dan juga mencari keuntungan. Artinya usahanya mengutamakan kepentingan public, namun tetap tidak boleh meninggalkan prisip cost accounting principles and management effectiveness.
- Berstatus Badan Hukum. Prof Emmy Pangaribuan, SH berpendapat salah satu syarat yaitu mempunyai “nama dan kekayaan” sendiri dan sifat yang melekat pada Badan Hukum adalah “subyek hak” ( privaat rechtelijk ).
- Dapat dituntut dan dapat menuntut dan hubungan hukumnya diatur secara hubungan hokum perdata.
- Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, serta dapat mempunyai dan memperoleh dana dari pinjaman-pinjaman baik dalam negeri dan luar negeri atau dari obligasi.
- Dipimpim oleh suatu Direksi. Prof Emmy Pangaribuan, SH berpendapat bahwa perusahaan yang diberi status Badan Hukum dipimpin oleh suatu Direksi adalah sudah seharusnya oleh karena Badan Hukum itu sebagai suatu kesatuan harta kekayaan harus dapat bertindak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai subyek hak.
- Pegawai perum adalah pegawai perusahaan negara yang diatur tersendiri diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi Pegawai Negeri.
- Organisasi, tugas, wewenang, tanggung jawab, diatur secara khusus dalam undang-undang yang mengatur pembentukan perusahaan negara tersebut.


Ciri-ciri Persero
- makna usaha adalah memupuk keuntungan ( keuntungan dalam arti, karena baiknya pelayanan dan pembinaan organisasi yang baik, efektif, efisien dan ekonomis secara business zakelijkheid, cost-accounting principles, management effectivness.
- status hukum adalah sebagai Badan Hukum perdata, yang berbentuk perseroan terbatas.
- hubungan-hubungan usahanya diatur menurut Hukum Perdata.
- modal untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik Negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, dengan demikian dimungkinkan adanya join atau miseedenterprise dengan swasta ( nasional dan/atau asing ) dan adanya penjualan saham-saham perusahaan milik Negara.
- tidak mempunyai hak untuk mendapatkan hak atas fasilitas-fasilitas Negara. Dengan demikian sejak pembentukannya, dimaksudkan oleh Pemerintah sebagai suatu usaha yang berdiri sendiri untuk mencari keuntungan tanpa memperoleh fasilitas negara.
- Dipimpin oleh suatu Direksi.
- pegawai persero adalah pegawai perusahaan swasta. Menurut Prof Emmy Pangaribuan, sebaiknya tidak memakai istilah pegawai melainkan istilah “buruh”. Peran pemerintah adalah sebagai pemegang saham dalam perusahaan. Intensitas medezeggenschap terhadap perusahaan tergantung dari besarnya jumlah saham (modal ) yang dimiliki, atau berdasar perjanjian khusus antara pemerintah dengan pihak pemilik atau pendiri lainnya. ( diatur dalam KUHD ps. 54 yo UU No. 4 tahun 1971 ).

C. PEMBAHASAN
Penulis memakai istilah deregulasi untuk menjelaskan kebijakan baru dibidang pendidikan yang mengejutkan. Maka lebih baik kita mencari pengertian tentang “deregulasi”. Dari sudut ekonomi, istilah deregulasi mempunyai arti suatu perubahan dari suatu keadaan dengan peraturan-peraturan tertentu yang menghambat kegiatan ekonomi menuju situasi tanpa regulasi atau berkurangnya regulasi. Jadi deregulasi ekonomi dianggap sebagai upaya pemerintah untuk sama sekali melepaskan campur tangannya dibidang ekonomi (pendapat M. Hadi Soesastro). Dr Syahrir mengatakan istilah dengan deregulasi sering disamakan artinya “privatisasi” atau “liberalisasi”. Dan privatisasi diartikan juga, sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi perannya, atau meningkatkan peranan swasta dalam lalu lintas ekonomi, atau pelepasan hak atas pemilikan aktiva dan kekayaan ekonomi pemerintah. Pengertian deregulasi dari sudut etimologi, istilah deregulasi terbentuk dari dua kata, yaitu awalan de yang artinya; lepas, mempengaruhi, atau mengenai dan regulation artinya; tindakan pengaturan berupa ketentuan atau tata tertib, yang dimaksudkan untuk mengelola atau merupakan suatu cara untuk menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian deregulasi adalah suatu ketentuan atau tata tertib, yang mempunyai kekuatan hukum, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah sesuai dengan wewenang tertentu yang dimilikinya berdasarkan konstitusi. Jadi pengertian deregulasi sekurang-kurangnya mencakup dua aspek;
Pertama, aspek debirokratisasi artinya sebagai upaya penyederhanaan prosedur dan perizinan, sehingga memberi kemudahan bagi dunia usaha yang melakukan investasi untuk memutar roda kegiatan ekonomi nasional.
Kedua, mencakup berbagai pertimbangan kedalam, antara lain menyangkut penyederhanaan dan pengurangan jenis perizinan, menyingkat waktu proses persetujuan perizinan, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian diatas, penulis lebih cenderung untuk memaknai deregulasi sebagai proses mengurangi peran pemerintah dalam mengatur segi kehidupan warga. Dan bila kita renungi dari segi politis, telah terjadi perubahan prinsip pelaksanaan pemerintahan. Perubahan dari sistem negara kesejahteraan (welfare state) ke sistem yang disebut good governance (sitem kepemerintahan yang baik). Yang memiliki cirri antara lain pemerintah mengurangi perannya untuk mencampuri urusan kehidupan warga. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator saja, dengan mengembangkan/ meningkatkan peran sektor swasta. Disamping semakin beratnya beban pemerintah, yang harus ditanggung APBN.
Ada beberapa sebab yang menjadi alasan mengapa deregulasi dilakukan, yaitu; Pertama, alasan pragmatis. Kesulitan anggaran negara yang ditandai dengan defisit anggaran yang semakin membesar, menuntut adanya pengurangan kegiatan negara dan meningkatkan efiensi serta produktivitas. Peningkatan tersebut ditujukan untuk semua BUMN dan BUMD, sehingga diharapkan dapat menyumbang peningkatan produktivitas ekonomi nasional. Dengan demikian dapat mendorong peran sektor negara kearah yang lebih berdaya guna.
Kedua, alasan ideologis. Berpihak pada konsep pengurangan peranan sektor negara yang berlebihan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengaruh sektor negara yang berlebihan dalam kehidupan bermasyarakat, mencerminkan etatisme yang mengurangi kebebasan pribadi dan demokrasi.
Ketiga, alasan yang bersifat populis.Tujuannya adalah agar masyarakat lebih banyak memiliki kebebasan untuk mengurus diri sendiri, dan mengidentifikasi urusannya, serta memenuhi sendiri kebutuhannya.
Kalau melihat alasan dasar diatas, kita mungkin bisa memaklumi. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam Undang-undang Dasar 1945 masih mengungkapkan adanya peran negara yang besar khususnya bidang pendidikan? Sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 (amandemen) berbunyi ; “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Pembentukan Badan Hukum Pendidikan
Dengan niatan pemerintah membentuk Badan Hukum yang diberi wewenang menyelenggarakan pendidikan, ini merupakan ujud perambahan kebijakan deregulasi/investasi yang seharusnya mungkin merupakan sesuatu hal yang tabu.Hal ini terungkap dalam seminar yang dibawakan oleh Prof Didik Rakhbini tentang Hukum Investasi disebutkan bidang Pendidikan merupakan sesuatu hal yang seharusnya tertutup untuk dimasuki Investor Asing ( Seminar di Universitas Pancasila tg 25 Oktober 2008 ). Kebijakan ini melahirkan opini masyarakat yang bersifat pro dan kontra. Pendapat pihak yang kontra memberi contoh salah satu kampus yang telah melaksanakan otonomi sebagai percontohan pelaksanaan BHMN biaya pendidikannya menjadi semakin tidak terjangkau oleh golongan menengah kebawah.
Gelar pro kontra pernah ditayangkan melalui media elektronik ( TV swasta ), dengan menghadirkan nara sumber beken yaitu salah satu rektor PTN dan mantan rektor PTN Jakarta. Sang Rektor tidak banyak bicara, karena dapat sanggahan dari peserta yang terdiri dari kelompok mahasiswa, orang tua siswa, masyarakat. Mantan rektorpun berada dalam kelompok kontra. Semua kelompok kontra hanya menyoroti, masalah akibatnya yaitu biaya pendidikan semakin tidak terjangkau, dan beralihnya kampus dari media pusat perjuangan pengabdian pada Ibu Pertiwi menjadi media perburuan harta, karena seiring dengan berubahnya menjadi Badan Hukum para dosen mulai pasang tarip. Demikian penulis dapat simpulkan dari acara debad pada acara “padamu negeri” pada TV swasta tersebut. Penulis ingin menyoroti dari sisi lain yang netral sifatnya.
Penulis ingin menyoroti, dari dua segi yaitu “segi hukum dan segi status kepegawaian dari pegawai tersebut”. Segi hukum sebagaimana telah penulis uraikan diatas, sekalipun secara jelas disebut badan hukum ini dibentuk merupakan bagian dari departemen. Namun dalam sejarahnya, pegawai tersebut harus beralih menjadi pegawai perusahaan, contoh Perusahaan jawatan sebagaimana diuraikan diatas. Contoh Badan-badan Hukum Negara yang masih berdiri kokoh katakan saja; BNI, BTN dan Bank Mandiri, status kepegawaian dan sistem penggajiannya diatur tersendiri. Dari segi hukum yang lain, garis komando yang telah dibangun antara Depdiknas/Mendiknas dengan PTN dengan telah dibentuknya Badan Hukum garis pembinaannya menjadi beralih ke Kementrian BUMN. Bukankah dengan ditetapkan status Badan Hukum konsekwensi hukumnya menjadi berstatus sebagai subyek hak ( pasal 40 ayat 2 dan 45 KUHD ).
Dengan telah diundangkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2007 merupakan isarat pemerintah pada para pengelola PTN untuk senantiasa mengedepankan kemandirian. Untuk menunjang program kemandirian kampus, pemerintah memberikan beberapa kemudahan pada para pihak pelaku ekonomi yang berminat menanamkan modalnya dibidang pendidikan. Penulis sering mengamati kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan deregulasi dibidang pendidikan dulu pernah tidak lama setelah terjadi krismon kalau tidak salah telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 60 dan 61 tahun 1999 dikenal dengan BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Namun kebijakan tersebut tidak jalan.
Penulis dalam dialog dengan Prof Didik Rakhbini dalam Seminar tentang Investasi ternyata Bidang Pendidikan termasuk dalam lingkup Investasi yang tertutup karena menyangkut masalah tata nilai bangsa, sehingga bila investor asing dapat bebas menanamkan investasinya dibidang pendidikan maka dapat memberi dampak yang negative pada tata nilai yang ada pada bangsa Indonesia.( Seminar di Universitas Pancasila 25 okt 2008 ).
Penulis menyoroti kebijakan tersebut, masih belum terang karena hanya menyebut Badan Hukum. Kenapa tidak memakai bahasa terang, yaitu misalnya berupa Yayasan ( seperti riwayat TV RI dulu ), Perum ( seperti Bulog dulu ). Semua itu telah mengisi sejarah panjang pemerintah kebijakan ekonomi Indonesia. Karena akhirnya berubah kembali, TVRI telah berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik. Akankah Kampus kita, akan menjalani sejarah yang sama. Bukankah kita semua tergolong bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi, sangat menghargai kata-kata bijak “Pengalaman adalah guru yang terbaik” (the experient of the best teacher). Dari hal tersebut, penulis menyarankan kebijakan tersebut lebih baik direnungkan terlebih dahulu.

BADAN LAYANAN UMUM SALAH SATU SOLUSI
Kalau kita mau mengkaji sistem pemerintahan setelah reformasi telah terjadi perubahan yang sangat prinsip. Seperti penulis kemukakan diatas, yaitu dari welfare state yang memiliki sifat pemerintahan yang sangat mencampuri urusan-urusan warga. Berubah menjadi apa yang disebut good governance yaitu suatu system pemerintah yang memiliki sifat, memberikan seluas-luasnya pada swasta atau perseorangan untuk mengembangkan diri dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga dari pada itu pemerintah membutuhkan pemimpin untuk memimpin pemerintah yang memiliki sifat kewirausahaan ( inter prenuare ship ). Sudah banyak contoh di pulau jawa yang sering dibuat contoh oleh bapak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yaitu Kabupaten Sragen. Sifat kemandirian itulah yang diharapkan, dan rupanya pemerintah mempunyai keinginan yang kuat, untuk ditularkan ke lembaga-lembaga pemerintah yang lain seperti Lembaga Akademik. Untuk mewujudkan gagasan tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Latar belakang pembentukan lembaga tersebut, diuraikan secara jelas dalam pasal 1 PP no. 23 tahun 2005 , yaitu; bahwa Badan Layanan Umum selanjutnya disebut BLU, adalah instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk membrikan pelayanan kepeda masyarakat berupa penyediaan barang dan / atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Dengan mengetrapkan pola Pengelolaan Keuangan, yang selanjutnya disebut PPK BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari hal diatas, pemerintah secara jelas mengisaratkan adanya solusi lain yang tentunya lebih baik dibandingkan dengan membentuk Badan Hukum,sebagaimana penulis uraikan diatas. Solusi ini dapat penulis tunjukan dalam Bab VIII tentang Ketentuan Umum pasal 38 ; Perguruan Tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan PPK- BLU setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Dari kebijakan pemerintah tersebut, penulis dapat memerinci hal-hal yang baik/menguntungkan antara lain; garis komando yang sudah dibangun antara Depdiknas/Mendiknas melaui Keputusan Presiden tetap utuh. Status kepegawaian tetap diberlakukan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana diberlakukan pada PNS lain yang bekerja baik dipusat maupun didaerah, artinya status kepegawaian dari pegawai BLU adalah PNS tidak berubah, gaji juga tetap. Status organisasinya adalah lembaga pemerintah berarti organisasi publik.Hanya pola pengelolaan keuangan yang bersifat mandiri, dengan demikian mempunyai otonomi untuk mencari keuntungan/kelebihan dan hak untuk mengelola dari kelebihan yang didapatkan. Namun yang sering terjadi salah paham adalah kemauan pemerintah sering terlalu cepat, ibarat anak yang baru bisa jalan supaya langsung bisa lari. Artinya pemerintah dengan telah memberi anggaran sebagai modal kerja, berikutnya pemerintah segera menghentikan dan tidak membuatkan anggaran lagi, karena dianggap telah dapat keuntungan. Keuntungan yang didapat BLU, karena BLU merupakan institusi pemerintah pemberlakuannya berbeda dengan bila berbentuk Badan Hukum karena badan hukum adalah berstatus sebagai subyek hak, dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diberlakukan pada orang sebagai subyek hukum. Demikian solusi terbaik, bila dibandingkan dengan berbentuk Badan Hukum. Hanya saja memerlukan pemimpin yang memiliki jiwa kemandirian, kewirausahaan, kejujuran, amanah. Selanjutnya penulis mengucapkan selamat bekerja.
D.Membangun Jabatan bidang Pendidikan yang Bergengsi
Dengan menggejalanya penyakit pada pejabat tinggi yang ketakutan untuk memasuki masa pension . Ada kecerendungan para mantan pejabat tinggi dengan sisa-sisa pengaruh/kekuasaannya, jabatan fungsional dosen banyak yang membidignya. Dengan adanya Jabatan dosen menjadi sasaran tembak para mantan pejabat tinggi yang sebagian besar telah usia udzur ( 60 tahun ), penulis takut jabatan dosen tidak menjadi bergengsi lagi cenderung lebih pantas disebutnya sebagai panti jompo. Seyogyanya Departemen Pendidikan Nasional mulai memikirkan untuk melakukan reformasi Peraturan/Kebijakan yang mempunyai maksud memagari gejala para mantan pejabat tinggi melakukan mutasi ke jabatan dosen.Prof Baharudin Lopa berpendapat ketidak berdayaan pemerintah untuk menindak para pelanggar bukan karena tidak ada peraturan perundang-undangan tapi karena tidak adanya integritas moral, mereka yang dapat melakukan perubahan adalah orang-orang yang memiliki integritas moral ( Prof Lopa dalam Buku Korupsi Di bidang Bisnis 2000; 47 )
Terlebih-lebih setelah Pemerintah berkomitmen untuk memperhatikan Pembangunan Dibidang Pendidikan dengan menaikan anggaran Pendidikan dalam APBN 20% sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945( amandemen ). Efek dari menaikan anggaran Pendidikan tersebut akan merubah pula perhatian tingkat kesejahteraan pemangku jabatan fungsional dosen. Hal tersebut menjadi daya tarik mantan pejabat tinggi yang akan menumpangkan nasibnya untuk memperpanjang usia pension.
Departemen Pendidikan Nasional seharusnya sudah mulai memikirkan perubahan Peraturan yang mengatur mutasi dari jabatan structural ke jabatan fungsional seperti yang berlaku pada Guru yaitu yang diperkenankan mereka yang telah berusia maksimal 50 tahun. Demikian juga Peraturan yang berlaku pada jabatan fungsional dosen, bahkan harus ditambah dengan persyaratan tertentu missal telah memiliki pelatihan Pekerti dan Metode Pembelajaran / AA .Tidak seperti sekarang para mantan pejabat tinggi dengan senaknya menginjak-injak jabatan yang seharusnya luhur menjadi sesuatu yang rendah karena numpang hidup untuk perpanjang usia pension. Parra mantan pejabat tinggi kebanyakan telah memiliki pangkat sangat tinggi sehingga tidak mungkin akan memiliki motivasi untuk mengembangkan apalagi untuk melakukan penelitian. Kecuali mantan pejabat tinggi tersebut berasal dari jabatan fungsional dosen yang dipekerjakan, pada instansi tertentu dalam jabatan structural. Penulis mengamati gejala tersebut telah lama, dan banyak juga menemui mantan pejabat tinggi telah melakukan mutasi dari jabatan structural ke jabatan fungsional dilakukan tiga bulan sebelum memasuki usia pensiun ( 60 Th ). Bila hal tersebut dibiarkan berlangsung tidak mustahil impian jabatan yang bergengsi tersebut berubah untuk menampung para kaum jompo. Penulis menghimbau pada Departemen Pendidikan Nasional supaya segera membuat rambu-rambu agar hal tersebut tidak terjadi.Terlebih-lebih akan ada program sertifikasi dosen, persyaratan tersebut harus dibangun dahulu. Persyaratan tersebut bisa berupa keputusan menteri, untuk dijadikan pedoman bagian kepegawaian yang bertugas sebagai assesor.Penulis yakin bila tidak dibuat demikian para pendatang haram jadah akan berlenggang tanpa syarat ( soalnya para pendatang tadi menurut Lopa termasuk orang-orang yang tidak memiliki integritas moral ). Dosenpun juga jangan setiap dosen lolos sertifikasi, harus dosen yang dapat menunjukan prestasi misal sering membuat karya tulis di jurnal kampus dan pernah melakukan penelitian.

E. DAFTAR PUSTAKA
- Prof DR Emmy Pangaribuan, Simanjuntak, SH, Hukum Dagang, Penerbit Liberty 1984. Yogyakarta.
- DR Man Gaffar, Politik Indonesia - Transisi menuju Demokrasi, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.
- DR Syahrir, Prisma Kebijakan Deregulasi Ekonomi Indonesia 1990.
- M Hadi Soesastro - Aspek Hukum dalam bisnis Grafindo Persada Jakarta 1990.

PERKEMBANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MENUJU TERCIPTANYA SUPREMASI HUKUM


Abstract
Perkembangan politik pemerintah khususnya setelah reformasi tentang kekuasaan kehakiman mengalaminya sangat signifikan, sehingga mengundang pemerintah untuk melakukan perubahan atas Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman terutama setelah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dilakukan amandemen. Sejak itulah kekuasaan kehakiman yang mulanya memiliki dua induk semang, namun setelah dilakukan amandemen menjadi hanya memiliki satu induk semang yang dikehendaki

Summary
Development of judicial power as regulated in Law N.14 of 1970 after Reformation is marked by people’s demand for amandment to 1945 Constitution.The people’s demand,transpires,not only that,but also for the developmentof judicial institutions themselves.

1.Pendahuluan
Tuntutan rakyat untuk menegakkan supremasi hukum,desakan tersebut menjadi penting, karena kita ketahui bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 bertujuan mewujudkan tatanan kehidupan bangsa yang aman, tenteram,dan tertib. Untuk mewujudkan tatanan kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan dan menegakkan ketertiban, keadilan,dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dibawah Undang-Undang 1945 sebagai hukum dasar (ground wet).
Sejak Indonesia merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 diuji dengan beberapa kali kejadian, seperti pernah kedudukannya bergeser bukan lagi sebagai hukum dasar, dan dikesampingkan walaupun tidak ada pernyataan tidak berlaku.
Demikian seterusnya,semakin nyata usaha-usaha untuk menggantikan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga negara dan bangsa indonesia menjadi mengambang tanpa arah dan tujuan yang pasti. Namun demikian, dan wajar kita syukuri bahwa sebagian warga dari bangsa indonesia masih mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara serta berkeinginan untuk mempertahankan cita-cita bangsa sesuai Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencapai “ adil dan makmur “.
Atas dasar kejadian itu, sebagai pengalaman pahit bangsa, maka pernah masa pe-merintahan orde baru mengeluarkan “ statement kenegaraan”berupa ; “mempertahankan, melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”.
1.1 Latar Belakang
Yang menarik untuk diteliti adalah negara kita menyatakan dirinya sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,namun dalam pelaksanaannya kekuasaan kehakiman menurut pendapat masyarakat belum pernah terwujud adanya kekuasaan kehakiman yang bebas/merdeka dari pengaruh kekuasaan eksekutif.
2. Rumusan Permasalahan.
Namun yang menjadi masalah diera itu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,kekuasaan kehakiman masih jauh dari yang diharapkan. Kekuasaan kehakiman dicurigai masih belum mencerminkan sebagai kekuasaan yang merdeka. Karena para hakim pengadilan memiliki dua induk semang yaitu Menteri Kehakiman ( eksekutif ) dan Mahkamah Agung ( yudikatif ), dengan demikian hakim patut dicurigai tidak bertindak independen karena statusnya sebagai anggota KORPRI yang memiliki status keanggotaan Golkar sifatnya stelsel pasif.
Apakah dengan demikian tidak mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka ?
3. Metode Penelitian.
Tulisan ini merupakan suatu kajian kepustakaan ( library research )terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman.Pembahasan didapat melalui penelaahan terhadap literatur-literatur hukum dan membandingkan dengan kajian atas opini yang berkembang dalam masyarakat sebagai sebuah fakta yang tidak terbantahkan.
Hasil kajian dituangkan dalam penulisan melalui metode deskriptif analisis, yaitu menggambarkan hasil pembahasan kemudian dilakukan analisis untuk memperoleh kejelasan tentang masalah yang dikaji tersebut.
3.1 Landasan Teori
Sesuai dengan teori hukum yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa ( curia ius novit ; hakim dianggap mengetahui hukum ). Dalam melaksanakan tugas peradilan ,yaitu memeriksa dan memutuskan perkara, hakim adalah bebas ( onafhankelijk, independent ) artinya hakim tidak berada dibawah pengaruh atau tekanan atau tidak ada campur tangan dari pihak manapun, atau kekuasaan apapun juga ( abdulkarim M, SH 1982;47 ).Dalam negara hukum kebebasan hakim dalam melakukan peradilan merupakan ciri yang esensial. Negara hukum menjamin kebebasan hakim itu merupakan ciri suatu negara hukum yaitu;1) pengakuan dan perlindungan serta penghormatan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dsb, 2) peradilan bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh kekuasaan/kekuatan apapun, 3 ) legalitas dalam arti hukum dalam segala hal.
3.2 Hipotesa
Dari hasil kajian kepustakaan yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
Itu harus bebas/merdeka dari pengaruh kekuasaan dari manapun. Dengan demikian hakim dalam melaksanakan tugas peradilan dapat menciptakan suatu putusan yang adil.Sehingga dapat disimpulkan sebuah hipotesa ;semakin dijaminnya kebebasan hakim dalam melaksanakan peradilan,makin dijamin pula putusan hakim yang adil.
4. Pembahasan.
Dalam sejarah penulis menemukan sebuah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang betul-betul kelabu.( bertentangan dengan UUD 1945 ).Kebebasan hakim dalam negara hukum Indonesia pernah terganggu,hakim menjadi tidak bebas dalam melaksanakan peradilan. Terjadi pada masa pemerintahan rezim Presiden Soekarno sekitar tahun enam puluhan yaitu dengan menempatkan Mahkamah Agung sebagai organ yang berada dibawah Presiden. Ketua Mahkamah Agung diberi status Menteri.. Jadi Ketua Mahkamah Agung adalah pembantu Presiden, dengan demikian Ketua Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.( Abdulkadir M 1982;48 ). Ketua Mahkamah Agung dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab pada Presiden termasuk tugas peradilan.
Pengaruh itu jelas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 19 berbunyi ;demi kepentingan revolusi,kehormatan negara,dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak,Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.Demikian juga disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, pasal 23;dalam hal-hal Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan.( Abulkadir M,1982;49).
Kemudian pemerintahan berganti ke rezim Presiden Soeharto berusaha merubah dengan mengembalikan pelaksanaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.Merubah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan membentuk Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dengan prinsip akan melaksanakan kekuasaan kehakiman sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 ( pasal 24 dan 25 ).Namun dalam perjalanannya kekuasaan kehakiman masih dibawah Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung.Kekuasaan kehakiman dibuat mengambang karena menempatkanya dibawah kekuasaan eksekutif dan menempatkan hakim sebagai anggota KORPRI dimana dewan pembinanya adalah Presiden.
Teori “ Trias politika “ dari Montesqieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi atas ; kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dimana antara kekuasaan yang satu dengan yang lain adalah betul-betul terpisah ( separation of power ) tanpa ada peluang saling mencampuri.
Sedangkan kita menyadari bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut pemisahan kekuasaan seperti teori Montesqieu tersebut, akan tetapi pelaksanaan dalam negara kita dikenal menganut prinsip pembagian
kekuasaan dalam arti formal ( distribution of power ) yang memberi peluang kerja sama sebagai hubungan kerja antara kekuasaan yang satu dengan yang lain, dikenal sebagai teori “ chek and balances “.
Kerja sama tersebut dapat dikemukakan dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Presiden memberi grasi,amnesti,abolisi dan rehabilitasi sebagai pelaksanaannya disebutkan dalam pasal 11 ayat 3 Tap MPR No. III/MPR/1978, disebutkan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/ Kepala Negara untuk memberikan/menolak grasi. Sehingga sementara ada yang berpendapat bahwa hak Presiden memberi grasi termasuk lingkup kekuasaan eksekutif bukan yudikatif.
Kekuasaan yudikatif yang dimaksud dalam konstitusi negara sebagaimana dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1970 disebutkan kekuasaan yudikatif terdiri dari kekuasaan-kekuasaan :
Mahkamah Agung, sebagai badan peradilan negara tertinggi; Badan –badan Kehakiman lainnya dalam undang-undang antara lain :
A.Peradilan Umum, yang terdiri dari;
I Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama;
II Pengadilan Tinggi, sebagai peradilan tingkat banding;
III Mahkamah Agung, sebagai peradilan Kasasi.
B.Peradilan Khusus, yang dalam implementasinya berkembang sesuai kebutuhannya.
i Peradilan Tata Usaha Negara
ii Peradilan Agama
iii Peradilan Militer
Setelah terjadi berbagai desakan yang memuncak pada tragedi, 27 Mei 1997 yang berakhir dengan ditetapkan sebuah statement tentang tuntutan reformasi. Salah satu
tuntutan yang mendesak adalah tuntutan Supremasi Hukum yang menuntut agar kekuasaan kehakiman betul-betul merupakan kekuasaan yang merdeka.
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Bab IX,pasal 24 dan pasal 25, yang menyatakan sebagai berikut;
Pasal 24
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Di era reformasi dimana tuntutan untuk melakukan supremasi hukum menjadi tekad pemerintah bukan lagi sekedar wacana. Pemerintah segera mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan menempatkan kekuasaan kehakiman ( kekuasaan peradilan ) dibawah Mahkamah Agung. Pemerintah segera membentuk Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan merubah Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dengan Undang-undang 4 Tahun 2005 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.Disamping itu pemerintah melakukan amandemen UUD 1945 dengan menambah pasal 24 B untuk memberi jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tersebut.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mempunyai pengertian adalah ; “sebuah kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Berhubung dengan itu, harus diada-kan jaminan dalam undang-undang untuk membuat perangkat mendukung terciptanya sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu supaya dibentuk Komisi Yudisial ditentukan dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945 ( amandemen ) berbunyi ;
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas,dan kepribadian yang tidak tercela;
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah reformasi bukan sekedar wacana atau lipstik saja, tapi sudah mendekati apa yang diharapkan.Hal ini ditandai dengan proses pengangkatan hakim agung ditangani oleh sebuah lembaga yang betul-betul independen yaitu Komisi Yudisial. Seleksi pengangkatan hakim agung dilakukan sangat ketat, karena dilakukan seleksi melalui beberapa tahap yaitu seleksi oleh Komisi Yudisial, kemudian dilakukan propertes oleh Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Negara.
Disamping Komisi Yudisial mempunyai kewenangan pengangkatan juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan pada para hakim baik yang bertugas dilingkungan peradilan umum maupun peradilan khusus ataupun dilingkungan peradilan tingkat banding.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam implementasinya sudah terlihat, misalnya beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi telah diungkap baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun oleh lembaga peradilan umum telah diselesaikan dan telah dijebloskan dalam tahanan.
Praktek penegakkan hukum, peran hakim memegang kunci yang penting.Memang kalau kita lihat,mekanisme beracara baik pidana maupun perdata semua bermuara pada pengadilan dalam hal ini hakim.Namun penulis berpendapat penegak hukum tidak satu-satunya faktor dipundak hakim,namun lingkungan juga ikut mempengaruhi.
Sebab bila lingkungan tidak peduli berarti memberi kesempatan pada para penegak hukum ( hakim,jaksa, polisi maupun penyidik KPK ) melanggar ketentuan hukum.Penegakkan hukum di Indonesia setelah reformasi sudah mulai terasa memenuhi harapan sebab semua pihak sangat konsen. Presiden sangat menyadari sepenuhnya program penegakkan hukum ( rule of low ) harus dikedepankan, karena telah merusak semua sendi kehidupan.
Hal ini bisa dilihat berbagai kebijakan pemerintah dalam penegakkan hukum;
(1) Presiden dalam setiap kesempatan dalam menanggapi kejadian, misal kebakaran beberapa pasar Presiden menginstruksikan pada polri untuk mengusut tuntas sebab-sebab kebakaran apa ada unsur sabotase atau kesengajaan
(2) Presiden mengeluarkan instruksi Presiden; Inpres nomor 5 tahun 2001 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang isinya sebuah perintah pada semua aparat untuk mengusut dilingkungannya bila dicurigai telah terjadi tindak pidana korupsi supaya cepat ditindak dan diselesaikan secara tuntas,
(3) Meratifikasi konvensi PBB United Nation Convention Agent Coruption 2003 melalui Undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB tentang Anti Korupsi 2003.
(4) Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2002.
(5) Menetapkan Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban agar saksi pelapor dapat dilindungi hukum,
(6 ) Kedudukan Hakim yang tadinya memiliki dua induk semang ( Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung ), sekarang dirubah , hakim memiliki satu induk yaitu Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai tanggungjawab melakukan pembinaan pada para hakim di peradilan baik peradilan tingkat pertama ataupun peradilan tingkat banding ditetapkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang perubahanUndang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Peran masyarakat melalui organisasi masyarakat yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat cukup aktif, sehingga peran masyarakat sebagai alat kontrol sangat dominan( social control ). Disamping hal tersebut ditandai dengan peran eksekutif yang mengecil,menutup kemungkinan untuk dapat mencampuri atau mempengaruhi kekuasaan yudikatif. Kenyataan ini dibuktikan dengan telah diungkapnya tindak pidana korupsi se-
kalipun di instansi yang dahulunya sangat bergengsi ( Bulog, Gubernur,Bupati/ Wali kota maupun Menteri ) pimpinannya yang terlibat baik sebagai pelaku atau penyerta diperiksa dan dijebloskan dalam penjara.Problem penegakkan hukum, memang tergantung pada individu pejabat penegak hukum. Namun lingkungan penegak hukumpun tidak terbebas dari program penegakkan hukum.
Hal ini telah dibuktikan, dengan telah ditindaknya para hakim, jaksa polisi, bahkan pada penyidik KPK yang nakal melakukan pemerasan telah ditindak dan dijebloskan ke tahanan. Seperti dikatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut ; the low , in its prosedural as well substantive aspect, is essentially made and administered by person whose views and “ interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a” truism that the quality of justice depends more on the quality of the ( person ) who administer the law on the content of law they administer “. Bahwa problem klasik penegakkan hukum ada pada kualitas ( mental ) manusia yang menjalankan hukum bukan pada aturan hukumnya.
Dari uraian-uraian diatas, kita dapat menarik kesimpulan yaitu mulai dari proses pengangkatan hakim sangat selektif sudah dapat dilihat dan dirasakan hasilnya.Dibuktikan dengan gugurnya guru besar Universitas Hasanudin yang pernah jadi tersangkaDari uraian diatas para pejabat yang ditugasi menyeleksi para calon hakim agung sudah bisa memegang komitmen , para hakim yang dinyatakan lulus seleksi harus yang tidak pernah tercela dan dapat mempertahankan martabat dan harkat manusia.

Daftar Pustaka
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Dr Adnan Buyung Nasution, Praktek Penindakan Tindak Pidana Korupsi.